burung twitter

berjalan

SEGALA YANG HIDUP DIPERAIRAN ADALAH MILIK PERIKANAN

Wednesday 24 August 2016

TERANCAMNYA UDANG WINDU ACEH

TERANCAMNYA UDANG WINDU ACEH


1.      Latar belakang
Indonesia dengan Negara kepulauan terbesar di dunia mempunyai sumber daya hayati yang melimpah, salah satunya udang. Maraknya udang vannamei yang berasal dari Amerika Latin membuat posisi udang windu tergeser. Kebanyakan tulisan yang memuat penelitian induk udang windu tidak menyebut sumber penelitian yang menyatakan induk udang windu, khususnya dari Aceh, adalah induk udang windu terbaik di dunia. Kurangnya penelitian mengenai induk udang windu Indonesia, menjadi salah satu penyebab pengelolaannya tidak diperhatikan oleh pemerintah. Ataukah mungkin banyak penelitian yang tidak dipublikasikan kepada masyarakat. Thailand yang pernah memproduski udang windu hasil budidaya terbesar di dunia sampai tahun 2003, mengakui keunggulan induk udang windu di Indonesia. Staf Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee Aceh mengungkapkan keberhasilan budidaya udang windu di Thailand dan Vietnam karena mereka membenihkan induk udang windu dari Aceh (Aceh Insight, 2016).
Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1970-an Pada awal dekade 1980 terjadi “revolusi biru” di Indonesia dalam hal budidaya udang, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa non migas terbesar pada produk perikanan. Selepas tahun 1995 produksi udang windu mulai mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh penurunan mutu lingkungan (sedimentasi) dan serangan penyakit. 
Udang windu selain berukuran besar, juga memiliki harga jual yang tinggi di pasar nasional maupun internasional. Provinsi Aceh merupakan salah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang masih konsisten untuk memproduksi udang windu dengan sistem tambak tradisional, dengan total produksi sebesar lebih dari 5.000 ton pada tahun 2011. Salah satu daerah di wilayah Provinsi Aceh yang menyimpan potensi budidaya udang windu adalah di Kabupaten Aceh Utara. 

2.      Klasifikasi Dan Morfologi Udang Windu.
Udang termasuk dalam kelas Crustacea merupakan phyllum dari Arthropoda, yang mempunyai ciri umum bagian tubuh luar yang dilindungi oleh karapaks yang tersusun dari calcarious dan kitin, tubuh simetris bilateral. udang windu yang memiliki nama latin Penaeus monodon mempunyai tubuh yang beruas dan dibungkus oleh suatu selubung yang keras yang terbentuk dari semacam zat tanduk (chitine). Secara Internasional, udang windu dikenal sebagai black tiger, tiger shrimp, atau tiger prawn. Istilah tiger ini muncul karena corak tubuhnya berupa garis – garis loreng mirip harimau, tetapi warnanya hijau kebiruan.

Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum Arthropoda. Suwignyo (1990) mengklasifikasikan udang windu  sebagai berikut :
Kingdom                     : Animalia
Fillum                          : Arthropoda
Subfillum                    : Crustacea
Kelas                           : Malacostraca
Ordo                            : Decapoda
Famili                          : Penaeidae
Genus                          : Penaeus
Spesies                        : Penaeus monodon              

Udang windu memiliki kulit tubuh yang keras dari bahan chitin. Warna sekujur tubuhnya hijau kebiruan dengan motif lereng  besar. Tubuh udang windu dibagi menjadi dua bagian besar, yakni bagian cephalothorax yang terdiri atas kepala dan dada serta bagian abdomen yang terdiri atas perut dan ekor. Cephalothorax dilindungi oleh kulit chitin yang tebal atau juga dengan karapas (carapace). Bagian cephalothorax ini terdiri atas lima ruas kepala dan delapan ruas dada, sementara bagian abdomennya terdiri atas enam ruas perut dan satu ekor (telson). Bagian depan kepala yang menjorok merupakan kelopak kepala yang memanjang dengan bagian pinggir bergerigi atau disebut juga dengan cucuk (rostum). Cucuk di kepala memiliki tujuh buah gerigi di bagian bawah. Sementara itu, di bagian pangkal bawah kepala terdapat sepasang mata.
Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas kepala dan 8 ruas dada. Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle, mandibula dan 5 dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod) dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang berfungsi sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995). Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite dan  endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan istilah moulting (Mujiman dan Suyanto, 1999).

3.      Siklus Hidup Udang Windu


Perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan  bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva dimulai  dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak.  Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius, zoea, mysis dan post larva (Gambar 2).
Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali (Gambar 2) yaitu :
a.       Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
b.      Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
c.       Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
d.      Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
e.       Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.
f.       Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad,  udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo, 2000).

4.      Perbedaan Jantan Dan Betina Pada Udang Windu
Udang jantan dan udang betina dapat dibedakan dengan melihat alat kelamin luarnya. Alat luar jantan disebut petasma, yang terdapat pada kak renang pertama. Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5. Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal kaki jalan ke-3. Alat kelamin primer yang disebut gonad terdapat didalam bagian kepala dada. Pada udang jantan yang dewasa gonad akan menjadi testes yang berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Sedangkan pada udang betina gonad akan menjadi ovarium (indung telur) yang berfungsi untuk menghasilkan telur dan Ovarium yang telah matang akan meluas sampai ke ekor. Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung seperti lender yang dinamakan spermatophora (kantung sperma). Dengan bantuan petasma, spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina bertelur spermatophora akan pecah dan sel-sel spermanya akan membuahi telur di luar badan induknya (Mujiman dan Suyanto, 2005).
5.      Udang Windu Di Aceh.
Provinsi Aceh/NAD adalah salah satu daerah penghasil udang windu terbesar di Indonesia. Namun sekarang ini banyak petani tambak hanya memelihara ikan bandeng saja, hasilnya pun kurang baik bahkan sering rugi. Sekarang banyak tambak yang sudah ditelantarkan begitu saja, hal ini disebabkan penyakit yang terus menerus menyerang udang windu sehingga gagal panen. Baru 1-2 bulan pemeliharan, udang sudah mati. 
Keberadaan hutan bakau pada lingkungan pantai merupakan suatu kesatuan ekosistem yang utuh. . Hutan bakau merupakan areal tempat kehidupan benih bermacam–macam jenis udang, kepiting, ikan, kerang– kerangan dan sebagainya. Hutan bakau sudah lama dikenal sebagai kontributor terhadap rantai makanan di perairan pantai, yaitu melalui proses pembusukan daun-daun bakau yang jatuh keair. Hubungan erat ini dicerminkan dalam korelasi positif antara luas hutan bakau dan produksi udang yang menunjukkan keterkaitan antara keduanya. Artinya, bila hutan bakau hilang atau berkurang, maka produksi udang tangkapan alam pun berkurang. Pengaruh yang sama juga akan dialami oleh udang yang dipelihara ditambak. Bahkan ada indikasi kuat bahwa tambak–tambak yang udangnya terserang penyakit adalah tambak yang dibangun didaerah yang hutan bakaunya telah rusak atau tidak ada sama sekali. Sebaliknya, tambak-tambak yang dibangun didaerah dengan kepadatan hutan bakau yang tinggi, tidak terserang hama penyakit. Hal ini disebabkan oleh fungsi lain hutan bakau sebagai “biofilter” (penyaring alami) bagi organisme-organisme yang merugikan sehingga tidak dapat masuk ke wilayah pertambakan. Jenis kerang-kerangan (bivalvae) yang hidup dilingkungan hutan bakau juga merupakan bio filter yang cukup baik, yakni sebagai penyaring masuknya organisme atau pun senyawa-senyawa yang merugikan.
Oleh sebab itu, jika membangun tambak untuk budidaya udang windu, keberadaan hutan bakau harus tetap dipertahankan. Bila hutan bakau dimusnahkan, menurut para ahli lingkungan, berbagai fauna dan flora yang menjadi sumber kehidupan manusia akan punah. Kekayaan dan kesuburan air laut dan pantai sangat dipengaruhi oleh kelestarian hutan bakau itu. Penggunaan pupuk makro dan racun kimia secara terus menerus juga dapat menghilangkan hara tanah dan merusak lahan tambak. Lama kelamaan akan menjadi racun bagi udang maupun ikan yang kita pelihara. Residu pupuk-pupuk yang telah dipakai dalam jangka waktu yang lama tersebut mengendap didalam tanah dan tidak bisa dikeluarkan lagi. Walaupun dengan mekanisme pembajakan/pembalikan tanah dan pembuangan lumpur serta pencucian, yaitu dengan membiarkan /ditelantarkan tambak sementara waktu dicuci oleh air pasang surut. Sewaktu - waktu residu yang telah mengendap lama tersebut muncul dan mencemari air tambak sehingga menjadi racun bagi udang/ ikan yang kita pelihara. Udang/ikan menjadi stress dan bisa mati mendadak. Marilah bersama - sama kita berusaha, berdoa dan menjaga kelestarian alam ini, untuk warisan dan tempat tinggal kepada anak cucu kita kelak. 
Lembaga swadaya masyarakat Internasional WWF-Indonesia berkeinginan untuk mepertahankan dan melestarikan komoditi udang windu. Mengingat saat ini sudah banyak petambak udang di Indonesia meninggalkan udang windu beralih ke komoditi udang vannamaei. Padahaludang windu merupakan komoditi perikanan asli Indonesia dan masih memiliki nilai ekonomis tinggi. Beralihnya sebagian besar petambak udang windu karena “Tiger Prawn” itu sedang dilanda banyak masalah. Untuk mengajak petambak agar tidak meninggalkan udang windu maka WWF-Indonesia merangkul penyuluh perikanan dan pembudidaya di kecamatan Suppa Pinrang mengaplikasikan budidaya udang windu system BMP.
BMP adalah pengadopsian praktik pengelolaan ramah lingkungan atau Better Management Practices (BMP) Budidaya Udang Windu Tanpa Pakan dan Tanpa Aerasi. BMP adalah panduan dikeluarkan WWF-Indonesia untuk membantu penerapan praktik perikanan bertanggung jawab secara sosial dan berkelanjutan baik, ekonomi dan kelestarian lingkungan. BMP ini sesuai standar Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk perikanan budidaya atau Marine Stewarship Council (MSC) untuk perikanan tangkap.
WWF-Indonesia melalui Better Management Pratice (BMP) Budidaya Udang Windu hadir untuk membina para petambak yang berada di Provinsi Aceh, seperti yang terjadi di Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. WWFIndonesia sebagai salah satu lembaga konservasi di Indonesia telah melakukan berbagai upaya dengan menggandeng berbagai instasi terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Aceh untuk mendukung kelompok nelayan dan pembudidaya serta kelompok swadaya masyarakat yang berkomitmen positif untuk mentransformasi kelompok dampingan mereka menjadi berkelanjutan dan bertanggungjawab.

Kelompok JUN (Jak U Neuhuen) merupakan salah satu kelompok budi daya udang yang dikenal baik oleh masyarakat Kecamatan Blang Mangat serta Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan (DKPP) Kota Lhokseumawe – Aceh. Melalui kelompok ini di harapkan sebagai model dan percontohan agar udang windu dari aceh tetap lestari dan tidak di gantikan dengan udang vanamei yang bukan udang asli dari wilayah Indonesia.

No comments:

Post a Comment