burung twitter

berjalan

SEGALA YANG HIDUP DIPERAIRAN ADALAH MILIK PERIKANAN

Thursday 28 April 2011

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN MARINKULTUR


I. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
            Indonesia sebagai Negara kepualauan yang mempunyai garis pantai kurang lebih 81.000 km dengan luas perairan pantai 5,8 juta km2 merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan budidaya laut. Kondisi  seperti ini merupakan modal untuk pengembangan perekonomian, khususnya bagi sub sector perikanan. Selama ini pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagian besar masih terbatas psda usaha penangkapan atau pengumpulan dari alam. Usaha yang sepenuhnya mengantungkan kepada hasil penangkapan atau pengumpulan dari alam tersebut akan membawa pengaruh terhadap kontinuitas produksi. Kegiatan penangkapan atau pengumpulan hasil laut yang tidak bijaksana atau penangkapan lebih (Over Fishing) dapat berakibat menurunnya populasi dan kelestarian sumber itu sendiri (Anonim, 2010).
            Produksi ikan melalui usaha budidaya dimulai sejak tahun 1960, namun penerapan kolam dan keramba jaring apung sebgai sarana produksi untuk tujuan komersil baru dimulai pada tahun 1970. Selanjutnya usaha budidaya ikan laut di Indonesia pertama kali dirintis oleh nelayan Kepulauan Riau pada tahun 1978 yakni dengan sistem karamba taneap (pen cage culture) dengan pasaran pasar Singapura, sedangkan komoditas yang dibudidayakan adalah ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus Tauvina). Usaha budidaya ikan laut terus berkembang sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar baik domestik maupun internasional. Untuk memenuhi  permintaan konsumen yang terus meningkat, beberapa pengusaha petani ikan di Kepulauan Seribu, karimun jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat telah melakukan budidaya ikan laut terutama dari jenis ikan Kerapu, Kakap Merah, Baronang dan Ikan Lemak/Siomay atau lebih dikenal dengan “Napoleon Fish” (Anonim. 2010)
Budidaya laut yang juga dikenal sebagai Marine Aquaculture atau Mariculture, secara lebih luas juga disebut Sea Farming, terdiri dari beberapa kegiatan pemeliharaan berbagai species organisme laut secara terkendali, disimak dari tingkat pengendalian pada budidaya laut dikenal teknologi pameliharaan intensif, semi intensif, dan ekstensif. Kata keramba jaring apung (kejapung) bisa digunakan untuk menamai wadah pemeliharaan ikan terbuat dari jaring yang di bentuk segi empat atau silindris adan diapungkan dalam air permukaan menggunakan pelampung dan kerangka kayu, bambu, atau besi, serta sistem penjangkaran. Lokasi yang dipilih bagi usaha pemeliharaan ikan dalam kejapung relative tenang, terhindar dari badai dan mudah dijangkau. Ikan yang dipelihara bervariasi mulai dari berbagai jenis kakap, sampai baronang, bahkan tebster. Keberhasilan teknologi keramba jaring apung atau KJA (Floating net cage) membuka peluang untuk budidaya perikanan laut (mariculture). KJA ini juga merupakan proses yang luwes untuk mengubah nelayan kecil tradisional menjadi pengusaha agribisnis perikanan. Nelayan kecil yang setiap hari berusaha menangkap beberapa kilogram ikan secara untung-untungan, dapat mengubah nasibnya dengan memiliki KJA (Sunyoto, 1994)
            Peluang usaha KJA ini tidak saja bermanfaat untuk pengusaha perikanan besar, tetapi juga sangat strategis untuk pengusaha perikanan kecil, sebab selain murah juga mudah dalam pengelolaanya. Keramba jaring apung dapat dibangun dengan cepat, serta dapat dipindahkan apabila ternyata perairannya sudah tidak cocok lagi untuk diusahakan. Teknologi KJA  jauh lebih mudah untuk dikuasi oleh nelayan dari pada teknologi permesinan pada perahu bermotor atau alat-alat pendingan. KJA selain memberikan kepastian hasil produksi, juga meningkatkan posisi tawar menawar yang lebih baik karena tidak perlu lagi tergesa-gesa menjualnya. Ikannya dapat terus disimpan dan dipelihara didalam KJA sampai mendapat harga yang baik (Anonim, 2001).

1.2 Tujuan dan manfaat praktikum lapang.
Tujuan pelaksanaan praktikum tentang karantina ikan ini adalah untuk pengetahuan dan pengalaman langsung dilapangan. Sehingga mahasiswa dapat memadukanya teori yang didapatkan dibangku kuliah dengan apa yang didapatkan dilapangan.
            Manfaat dari praktikum mata kuliah manajemen marinekultur ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa dilapangan serta akan menambah pengetahuan mahasiswa dalam praktiknya dilapangan. Hingga mahasiswa dapat memahami manajemen marinekultur dan cara – cara budidaya komoditas air laut yang semakin hari semakin menjanjikan dipasar dalam dan luar negeri.




II. PEMBAHASAN


2.1 Waktu dan tempat praktikum
            Praktikum manajemen marineculture dilaksanakan dikota Calang, Kabupaten Aceh Jaya yang dilaksanakan pada hari minggu tanggal 8 januari 2011 pada jam 14.30 WIB.

2.2 Pengukuran yang dilakukan.
2.2.1 Gelombang laut.
            Pengukuran gelombang dengan mengunakan kayu yang berukuran panjang 2 – 3 meter yang telah diberi meteran atau diberi tanda sesuai dengan panjangnya. Kemudian dibawa kearah gelombang dan kemudian didirikan tepat setelah gelombang datang. Kemudian diukur tinggi gelombang dengan mengunakan kayu yang telah diukur panjangnya, dari tinggi gelombang tertinggi sampai dasar gelombang.
            Dari hasil data dilapangan didapatkan hasil yaitu tinggi gelombang rata –rata diteluk sekitar kota calang yaitu berkisar 40 Cm atau 0,40 Meter.

2.2.2 Kecepatan arus.
            Pengukuran gelombang dilakukan dengan mengunakan seutas tali, botol air mineral dan stop watch, dengan cara melemparkan botol air mineral yang telah diikat dengan tali sepanjang 1 meter kelaut, setelah dilempar kemudian dihitung waktu tempuh botol tersebut sepanjang 1 meter dengan mengunakan stop watch. Setelah itu diulang sebanyak 3 kali. Hasilnya dicatat dan ditambah kemudian dibagi tiga.
            Hasil yang didapat dari hasil pengukuran dilapangan didapatkan hasil dari tiga kali pengulangan yaitu 10, 48 detik, 9, 71 detik,  dan 14, 20 detik setelah  ditambah didapatkan hasil 34.39 dan setelah dibagi 3 didapatkan hasil 11, 46. Jadi rata – rata arus dilaut sekitar kota calang adalah 11,46 meter / detik.


2.2.3 Salinitas.
            Pengukuran salinitas dilakukan dengan mengunakan refraktometer. Cara pengukuran salinitas adalah dengan mentralkan terlabih dahulu refraktometer tersebut dengan mengunakan aquades atau mengunakan air mineral biasa, setelah itu teteskan sample air laut yang telah diambil diujung alat refraktometer tersebut dan diintip pada bagian yang telah disediakan, lihat pada sebelah kanan indikator. Tentukan hasilnya.
            Hasil dari pengukuran salinitas ditempat tersebut dapat disimpulkan salinitas disekitar laut tersebut berkisar 29 ppt. Rendahnya kadar salinitas ditempat tersebut dikarenakan tempat pengambilan sample dekat dengan muara sungai. Tetapi rata – rata salinitas ditempat tersebut berkisar antara 30 – 34 ppt.

2.2.4 Kecerahan
            Pengukuran kecerahan air dengan mengunakan secchi dish. Cara pengunaan secchi dish dengan menenggelamkan secchi dish ke air laut, lihat warna hitam sampai batas tidak kelihatan lagi dan catat kedalamannya, kemudian tenggelamkan lagi sampai warna putih pada sechi dish tidak kelihatan lagi dan catat hasilnya. Kemudian hasil keduanya ditambah dan dibagi dua.
            Dari hasil pengukuran dilapangan didapatkan hasil dari pengulangan sebanyak tiga kali didapatkan hasil 2,40 meter dan 1,20 meter, setelah ditambah didapatkan hasil 3,6 dan setelah dibagi dua didapatkan hasil 1,8. Jadi dapat disimpulkan kecerahan disekitar laut calang berkisar 1, 8 meter.

2.2.5 Suhu.
            Pengukuran suhu dilakukan dengan mengunakan Termometer. Cara pengunaan Termometer dengan mencelupkan termometer kedalam air, kemudian tunggu selama kurang lebih 1 menit, kemudian angkat dan lihat ujung warna merah menunjukan diangka berapa, kemudian catat hasilnya.
            Dari hasil pengukuran dilokasi tersebut dapat disimpulkan suhu rata – rata dilaut tersebut berkisar 28 0C. kondisi suhu tersebut cocok untuk didirikan keramba jaring apung.

2.3 Permasalahan yang dihadapi oleh petani KJA.
            Masalah yang dihadapi oleh petani keramba jaring apung disekitar perairan laut kota Calang adalah hama seperti burung elang dan pencurian oleh manusia. Sedangkan untuk penyakit tidak ditemukan sama sekali, mungkin karena tidak ada penelitian lebih lanjut mengenai penyakit yang menyerang pada ikan dan selama ini petani ikan tidak menemukan ikan yang terjangkiti penyakit yang disebabkan Jamur, Bakteri ataupun Virus.





III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Ø  Dapat disimpulkan dari hasil praktikum dilaut sekitar kota calang adalah perairan ditempat tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tempat budidaya dengan mengunakan keramba jaring apung.
Ø  Komoditas utama yang dibudidayakan dikeramba jaring apung tersebut adalah lobster dan ikan kerapu.
Ø  Petani setempat mengeluhkan hama seperti burung elang dan pencurian oleh manusia.

3.2 Saran
            Saya sendiri selaku penulis laporan ini berharap praktikum ini dapat lebih baik kedepannya, karena disetiap praktikum terdapat kekurangan, saya berharap disetiap kekurangan disetiap praktikum dapat dikoreksi ulang dan menjadi bahan pembelajaran dipelaksanaan praktikum kedepannya.



DAFTAR PUSTAKA


Anonimous. 2001. Pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus fuscogu-tattus) dan
Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis) di Karamba Jaring Apung.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Balai Budidaya Laut, Lampung.
Anonimous. 2010. http://www.masrizalnet.co.cc/. budidaya ikan kerapu dalam
keramba. Diakses pada hari kamis tanggal 20 januari 2011.
Sunyoto, P. 1994. Pembesaran Kerapu dengan Karamba Jaring Apung. Penebar
Swadaya, Jakarta.

No comments:

Post a Comment