burung twitter

berjalan

SEGALA YANG HIDUP DIPERAIRAN ADALAH MILIK PERIKANAN

Saturday 30 April 2011

LAPORAN PRAKTIKUM DI BALAI BENIH IKAN BATEE ILIK DAN BALAI BENIH MULTY SPESIES FISH TRIENGGADENG


I. PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang
Secara nasional, beberapa komoditas ikan air tawar mendapat perhatian untuk dikembangkan. Namun hal itu bukan berarti komoditas ikan yang mau dikembangkan BBI harus mengikuti begitu saja. BBI juga tidak semestinya didesain untuk bisa mengembangkan multi-spesies. Bila semua faktor mendukung, pengembangan multi-spesies tidak menjadi masalah. Tapi bila meragukan, sebaiknya hanya ikan yang bernilai jual tinggi di setiap daerah yang mestinya menjadi acuan utama dalam pemilihan komoditas. Penentuan komoditas ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan teknologi budidayanya. (Anonim, 2007).
Penyediaan sarana prasarana bagi BBI terkait erat dengan komoditas ikan yang akan dikembangkan. Suatu ilustrasi, wadah pemijahan untuk ikan mas tentunya berbeda dengan yang diperlukan untuk ikan patin. Penyesuaian pengadaan/pembangunan sarana mutlak harus disesuaikan dengan kebutuhan produksi ikan yang sudah dipilih, termasuk desain kolam induk, bak pemijahan, wadah pendederan dll. Yang perlu juga dipertimbangkan adalah keperluan minimal jumlah kolam yang akan digunakan dan jenis bak (tembok atau fiber glass). Sementara itu, untuk mendukung keberhasilan produksi benih juga perlu didukung oleh ketersediaan alat dan bahan laboratorium kualitas air dan kesehatan ikan. Sayangnya juga, untuk hal ini sering kali tidak disesuaikan dengan kebutuhan bidang perikanan. Akhirnya, banyak peralatan laboratorium yang tidak dimanfaatkan (Anonim, 2007).
Secara nasional, beberapa komoditas ikan air tawar mendapat perhatian untuk dikembangkan. Namun hal itu bukan berarti komoditas ikan yang mau dikembangkan BBI harus mengikuti begitu saja. BBI juga tidak semestinya didesain untuk bisa mengembangkan multi-spesies. Bila semua faktor mendukung, pengembangan multi-spesies tidak menjadi masalah. Tapi bila meragukan, sebaiknya hanya ikan yang bernilai jual tinggi di setiap daerah yang mestinya menjadi acuan utama dalam pemilihan komoditas. Penentuan komoditas ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan teknologi budidayanya (Gufran, dkk, 2010).

1.2 Tujuan praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengembangkan pengetahuan tentang pangelolaan dan manajemen balai benih ikan yang baik sehingga dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa itu sendiri kedepanya.

1.3 Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilakukan didua tempat yaitu di Balai Benih Multy Spesies Fish (BBMSF) Trienggadeng, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya dan di Balai Benih Ikan (BBI) Batee Ilik, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen yang dilaksanakan  pada hari senin, tanggal 20 Desember 2010.




II. PEMBAHASAN


2.1 Balai Benih Multy Spesies Fish (BBMSF) Trienggadeng
2.1.1 Profil Balai Benih Multy Spesies Fish (BBMSF) Trienggadeng
Kabupaten Pidie Jaya Propinsi Aceh merupakan Kabupaten Baru Dua  Tahun Pemekaran Dasar Hukum UU. RI NOMOR 7 TAHUN 2007, TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PIDIE JAYA  Dengan Batas Wilayah Sebelah Utara dengan Selat Malaka, Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pidie, Sebelah Timur dengan Kabupaten Bireuen, Sebelah Barat dengan Kabupaten Pidie di Wilayah Propinsi Aceh yang terdiri dari 8 kecamatan, 215 desa, dan kemukiman, jumlah penduduk 139.779 jiwa, Luas Wilayah 1.162.84 KM², Panjang garis Pantai 38,9 KM  memiliki potensi perikanan dan kelautan yang cukup besar, baik di bidang perikanan tangkap maupun dibidang perikanan budidaya (mari culture). Potensi perikanan cukup besar untuk dimanfaatkan, namun berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi sehingga potensi yang besar belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah.

2.1.2 Fasilitas Balai Benih Multy Spesies Fish Trienggadeng
            Fasilitas di BBMSF Trienggadeng dapat dilihat ditabel dibawah ini.
Tabel. Bangunan BBMSF Trienggadeng.
NO
JENIS BANGUNAN
JUMLAH (UNIT)
LUAS ( M² )
1
Gedung Genset
1
Unit
16
2
Gedung Pompa Air
1
Unit
16
3
Bangunan Pos Jaga
1
Unit
16
4
Gudang Blower
1
Unit
200
5
Jalan dan Boxculvert
1
Unit
832
6
Gedung BBU / Hatchery
1
Unit
72
7
Gedung Rumah Tangga BBU
1
Unit
56
8
Gedung Administrasi BBU
1
Unit
600
9
Pagar Komplek BBU
1
Unit
180
10
Gedung Laboratorium BBU
1
Unit
700
11
Saluran Pembuangan BBU
1
Unit
46
12
Gedung Mushalla BBU
1
Unit

13
Jalan Komplek BBU
1
Unit

14
Tempat Pembuangan Air limbah
1
Unit

15
Gedung Bak Pendederan
1
Unit

16
Gedung Bak Larva
1
Unit
 -
17
Gedung Mesin
1
Unit
 -
18
Balai Istirahat
1
Unit

19
Gedung Pakan
1
Unit

20
Tempat Parkir
1
Unit

21
Pagar Komplek BBU
1
Unit

22
Gedung Pompa Air
1
Unit

23
Saluran Pembuangan BBU
1
Unit
200
24
Sumur Bor
1
Unit


JUMLAH
24

2734

2.1.3 Spesies yang dihasilkan oleh BBMSF Trienggadeng.
Sekarang ini BBMSF Trienggadeng memproduksi benur udang windu (Penaeus monodon). Selain itu tengah dicoba untuk membenihkan kerapu bebek/tikus (Cromileptes altivelis) dan ikan bandeng (Chanos chanos), tetapi Cuma udang windu yang mendapatkan hasilnya, sedangkan kerapu bebek/tikus induknya mati sebelum sempat dipijahkan. Ikan bandeng sedang akan dimulai pemijahan dan pembenihannya.

2.2 Balai Benih ikan (BBI) Batee Ilik
2.2.1 Profil Balai Benih Ikan Batee Ilik
Balai Benih Ikan (BBI) Batee Ilik adalah merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dilingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan, Propinsi Aceh. Yang didirikan pada tahun 1992. BBI Batee Ilik terletak di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Jumlah pegawai di BBI Batee Ilik sejumlah 5 orang yang berpendidikan 1 orang sarjana dan 4 lainnya berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

2.2.2 Fasilitas Balai Benih ikan Batee Ilik
Fasilitas di Balai Benih Ikan Batee Ilik dapat dilihat didalam tabel dibawah ini.
Tabel. Bangunan di BBI Batee Ilik.
NO
NAMA FASILITAS
SATUAN
JUMLAH
1
Rumah pegawai
Buah
5
2
Kantor
Buah
1`
3
Rumah jaga
Buah
1
4
Mess
Buah
1
5
gudang
Buah
1
6
Kolam
Unit
25

2.2.3 Spesies yang dihasilkan oleh BBI Batee Ilik
Sekarang Balai Benih Ikan Batee Ilik memproduksi Benih Ikan Mas (Cyprinus Carpio) dan Ikan Nila (Oreochormis niloticus), mereka hanya melakukan pembenihannya saja. dulu pernah dihasilkan benih Ikan Gurame (Osphronemus gouramy) tetapi karena permintaan dan untuk memfokuskan kepembenihan ikan mas dan ikan nila saja maka pembenihan Ikan Gurame ditiadakan. Induk Ikan Mas dan Ikan Nila didatangkan langsung dari Sukabumi dan Jambi.

2.3 Konsep Pembenihan BBMSF dan BBI
Pembenihan ikan di BBI Batee Ilik mengunakan pemijahan secara alami karena Ikan Nila harus mengunakan pembenihan secara alami. Pembenihan secara alami pun banyak mengalami kekurangan karena hasil yang didapatkan kurang maksimal. Sedangkan untuk ikan mas mengunakan teknik pemijahan secara alami, konsep pembenihan ini dapat menghasilkan benih Ikan Mas lambat dan kurang efisien. Teknik pemijahan secara alami ini pun harus menunggu matangnya gonat ikan mas dan ikan nila.
Sedangkan di BBMSF Trienggadeng mengunakan pembenihan secara alami dengan teknik perangsangan. Mereka hanya membenihkan saja dan larvanya langsung dijual kemasyarakat yang membelinya, masyarakat bisa membeli langsung ke BBMSF. Sedangkan untuk pembesaran pihak BBMSF tidak mempunyai sarananya berupa tambak untuk pembesaran.

2.4 Kegiatan yang dilakukan BBMSF dan BBI
Untuk saat ini kegiatan yang dilakukan di Balai Benih Ikan Batee Ilik adalah masih disekitar pembenihan Ikan Mas dan Ikan Nila. Karena keterbatasan Sumber Daya Manusia yang dimiliki BBI Batee Ilik, ketersediaan Induk dan pasar yang kurang mendukung untuk menjual hasil dari pembenihan. Harga jual benih ikan mas dan benih ikan nila adalah Rp 150 untuk ukuran 3 – 5 Cm.
Sedangkan untuk di BBMSF Trienggadeng hanya seputar pembenihan udang windu, ikan kerapu bebek/tikus dan ikan bandeng. Untuk saat ini, usaha pembenihan udang windu dapat menghasilkan, sedangkan ikan kerapu tikus dan ikan bandeng masih dalam proses uji coba, kedepanya dua komoditas ikan tersebut dapat menghasilkan seperti halnya udang windu. Harga benur udang windu PL 15 – 20 dijual dengan harga Rp 6 per benur

2.5 Tujuan dan Sasaran BBMSF dan BBI
Tujuan di BBMSF Trienggadeng adalah Penyediaan Benih, melakukan pembinaan,pengalian teknologi,pengerak pengembangan usaha pembinaan rakyat dan mendukung pengembangan kawasan budidaya. Sasarannya dari BBMSF Trienggadeng adalah Terpenuhnya kebutuhan benih di daerah trasfer teknologi bagi UPR/HSRT di daerah, Berkembangnya UPR didaerah, Pelestarian SDA/SDI di daerah, Peningkatan pendapatan masyarakat, Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tujuan dari BBI Batee Ilik adalah melakukan penyediaan benih yang murah kepada petani ikan, pengalihan teknologi dan penyuluhhan dibidang perikanan. Sasaranya dari BBI Betee Ilik adalah dalam rangka peningkatan pendapatan daerah.

2.6 Permasalahan BBMSF dan BBI
Permasalahan yang dihadapi oleh BBI Batee Ilik adalah kolam pembenihan yang bocor, tapi telah mulai diperbaiki. Selain itu hama penyakit yang sering menyerang adalah Keong - Keongan, Burung, biawak, White Spot dan Jamur. Kurangnya Sumber Daya Manusia di BBI Batee Ilik menjadi hambatan untuk mengembangkan jenis – jenis Ikan lain. Didaerah Kabupaten Bireuen khususnya permintaan akan benih ikan mas dan nila cukup tinggi, sedangkan Unit Pembenihan Rakyat (UPR) masih kurang.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh BBMSF trienggadeng Terdapat kecenderungan adanya penurunan hasil tangkapan ikan nelayan (semakin sempitnya fishing ground) akibat upaya tangkap yang semakin meningkat (effort), kerusakan sumber daya perikanan. Di lain pihak peluang pasar ikan segar semakin terbuka baik domestik maupun eksport karena keunggulan kandungan gizi daripada ikan (omega-3, fufa, dll), sehingga usaha budidaya dapat merupakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat. Faktor produksi usaha budidaya Air Payau yang masih menjadi masalah saat ini adalah ketersediaan bibit-bibit ikan (jenis kerapu, bandeng ) di daerah dan saat ini masih didatangkan dari Sumatera Utara dan Bali. Sementara minat pelaku usaha budidaya cukup kuat di daerah.




III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Ø  BBI Batee Ilik terletak di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireun, Propinsi Aceh dan berdiri pada tahun 1992 dan BBMSF Trienggadeng teletak di Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Bireuen yang berdiri pada Tahun 2007.
Ø  Jenis – jenis benih ikan yang diproduksi BBI Batee Ilik adalah Ikan Nila dan Ikan Mas, sedangkan di BBMSF Trienggadeng memproduksi larva udang windu dan tahap uji coba untuk ikan bandeng dan kerapu bebek/tikus
Ø  Hama dan penyakit yang sering menyerang di BBI Batee Ilik adalah Keong – keongan, Burung, Biawak, dan White Spot. Sedangkan di BBMSF Trienggadeng hama penyakitnya seperti WSSV dan Bintik Putih.

3.2 Saran
            Untuk kedepannya segala kekurangan pada praktikum dimata kuliah Pengelolaan BBI dapat dikurangi hingga dapat menjadi manfaat bagi para mahasiswa.
            



DAFTAR PUSTAKA


Danakusumah, E., 1997. Teknologi Budidaya Ikan Kerapu. Apresiasi Budidaya
Ikan Kerapu di Sibolga 14 – 16 Juli 1997.
Gufran, M, et al., 2010. Pembenihan ikan laut secara ekonomis. Lily publisher.       Yogyakarta
Anonymous. 2007. Optimalisasi benih ikan air tawar.           http://indoorcommunity.wordpress.com. Diakses pada tanggal  4 Januari        2011.
Azwar Hamid et al., 1994. Pengkajian SUT Budidaya Ikan Kerapu dalam KJA di
Teluk Tapian Nauli Sibolga. Makalah pada Seminar Komponen/Paket
Teknologi tanggal8 April 1999 di Aula BPTP Gedong Johor, Medan

Thursday 28 April 2011

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN MARINKULTUR


I. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
            Indonesia sebagai Negara kepualauan yang mempunyai garis pantai kurang lebih 81.000 km dengan luas perairan pantai 5,8 juta km2 merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan budidaya laut. Kondisi  seperti ini merupakan modal untuk pengembangan perekonomian, khususnya bagi sub sector perikanan. Selama ini pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagian besar masih terbatas psda usaha penangkapan atau pengumpulan dari alam. Usaha yang sepenuhnya mengantungkan kepada hasil penangkapan atau pengumpulan dari alam tersebut akan membawa pengaruh terhadap kontinuitas produksi. Kegiatan penangkapan atau pengumpulan hasil laut yang tidak bijaksana atau penangkapan lebih (Over Fishing) dapat berakibat menurunnya populasi dan kelestarian sumber itu sendiri (Anonim, 2010).
            Produksi ikan melalui usaha budidaya dimulai sejak tahun 1960, namun penerapan kolam dan keramba jaring apung sebgai sarana produksi untuk tujuan komersil baru dimulai pada tahun 1970. Selanjutnya usaha budidaya ikan laut di Indonesia pertama kali dirintis oleh nelayan Kepulauan Riau pada tahun 1978 yakni dengan sistem karamba taneap (pen cage culture) dengan pasaran pasar Singapura, sedangkan komoditas yang dibudidayakan adalah ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus Tauvina). Usaha budidaya ikan laut terus berkembang sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar baik domestik maupun internasional. Untuk memenuhi  permintaan konsumen yang terus meningkat, beberapa pengusaha petani ikan di Kepulauan Seribu, karimun jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat telah melakukan budidaya ikan laut terutama dari jenis ikan Kerapu, Kakap Merah, Baronang dan Ikan Lemak/Siomay atau lebih dikenal dengan “Napoleon Fish” (Anonim. 2010)
Budidaya laut yang juga dikenal sebagai Marine Aquaculture atau Mariculture, secara lebih luas juga disebut Sea Farming, terdiri dari beberapa kegiatan pemeliharaan berbagai species organisme laut secara terkendali, disimak dari tingkat pengendalian pada budidaya laut dikenal teknologi pameliharaan intensif, semi intensif, dan ekstensif. Kata keramba jaring apung (kejapung) bisa digunakan untuk menamai wadah pemeliharaan ikan terbuat dari jaring yang di bentuk segi empat atau silindris adan diapungkan dalam air permukaan menggunakan pelampung dan kerangka kayu, bambu, atau besi, serta sistem penjangkaran. Lokasi yang dipilih bagi usaha pemeliharaan ikan dalam kejapung relative tenang, terhindar dari badai dan mudah dijangkau. Ikan yang dipelihara bervariasi mulai dari berbagai jenis kakap, sampai baronang, bahkan tebster. Keberhasilan teknologi keramba jaring apung atau KJA (Floating net cage) membuka peluang untuk budidaya perikanan laut (mariculture). KJA ini juga merupakan proses yang luwes untuk mengubah nelayan kecil tradisional menjadi pengusaha agribisnis perikanan. Nelayan kecil yang setiap hari berusaha menangkap beberapa kilogram ikan secara untung-untungan, dapat mengubah nasibnya dengan memiliki KJA (Sunyoto, 1994)
            Peluang usaha KJA ini tidak saja bermanfaat untuk pengusaha perikanan besar, tetapi juga sangat strategis untuk pengusaha perikanan kecil, sebab selain murah juga mudah dalam pengelolaanya. Keramba jaring apung dapat dibangun dengan cepat, serta dapat dipindahkan apabila ternyata perairannya sudah tidak cocok lagi untuk diusahakan. Teknologi KJA  jauh lebih mudah untuk dikuasi oleh nelayan dari pada teknologi permesinan pada perahu bermotor atau alat-alat pendingan. KJA selain memberikan kepastian hasil produksi, juga meningkatkan posisi tawar menawar yang lebih baik karena tidak perlu lagi tergesa-gesa menjualnya. Ikannya dapat terus disimpan dan dipelihara didalam KJA sampai mendapat harga yang baik (Anonim, 2001).

1.2 Tujuan dan manfaat praktikum lapang.
Tujuan pelaksanaan praktikum tentang karantina ikan ini adalah untuk pengetahuan dan pengalaman langsung dilapangan. Sehingga mahasiswa dapat memadukanya teori yang didapatkan dibangku kuliah dengan apa yang didapatkan dilapangan.
            Manfaat dari praktikum mata kuliah manajemen marinekultur ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa dilapangan serta akan menambah pengetahuan mahasiswa dalam praktiknya dilapangan. Hingga mahasiswa dapat memahami manajemen marinekultur dan cara – cara budidaya komoditas air laut yang semakin hari semakin menjanjikan dipasar dalam dan luar negeri.




II. PEMBAHASAN


2.1 Waktu dan tempat praktikum
            Praktikum manajemen marineculture dilaksanakan dikota Calang, Kabupaten Aceh Jaya yang dilaksanakan pada hari minggu tanggal 8 januari 2011 pada jam 14.30 WIB.

2.2 Pengukuran yang dilakukan.
2.2.1 Gelombang laut.
            Pengukuran gelombang dengan mengunakan kayu yang berukuran panjang 2 – 3 meter yang telah diberi meteran atau diberi tanda sesuai dengan panjangnya. Kemudian dibawa kearah gelombang dan kemudian didirikan tepat setelah gelombang datang. Kemudian diukur tinggi gelombang dengan mengunakan kayu yang telah diukur panjangnya, dari tinggi gelombang tertinggi sampai dasar gelombang.
            Dari hasil data dilapangan didapatkan hasil yaitu tinggi gelombang rata –rata diteluk sekitar kota calang yaitu berkisar 40 Cm atau 0,40 Meter.

2.2.2 Kecepatan arus.
            Pengukuran gelombang dilakukan dengan mengunakan seutas tali, botol air mineral dan stop watch, dengan cara melemparkan botol air mineral yang telah diikat dengan tali sepanjang 1 meter kelaut, setelah dilempar kemudian dihitung waktu tempuh botol tersebut sepanjang 1 meter dengan mengunakan stop watch. Setelah itu diulang sebanyak 3 kali. Hasilnya dicatat dan ditambah kemudian dibagi tiga.
            Hasil yang didapat dari hasil pengukuran dilapangan didapatkan hasil dari tiga kali pengulangan yaitu 10, 48 detik, 9, 71 detik,  dan 14, 20 detik setelah  ditambah didapatkan hasil 34.39 dan setelah dibagi 3 didapatkan hasil 11, 46. Jadi rata – rata arus dilaut sekitar kota calang adalah 11,46 meter / detik.


2.2.3 Salinitas.
            Pengukuran salinitas dilakukan dengan mengunakan refraktometer. Cara pengukuran salinitas adalah dengan mentralkan terlabih dahulu refraktometer tersebut dengan mengunakan aquades atau mengunakan air mineral biasa, setelah itu teteskan sample air laut yang telah diambil diujung alat refraktometer tersebut dan diintip pada bagian yang telah disediakan, lihat pada sebelah kanan indikator. Tentukan hasilnya.
            Hasil dari pengukuran salinitas ditempat tersebut dapat disimpulkan salinitas disekitar laut tersebut berkisar 29 ppt. Rendahnya kadar salinitas ditempat tersebut dikarenakan tempat pengambilan sample dekat dengan muara sungai. Tetapi rata – rata salinitas ditempat tersebut berkisar antara 30 – 34 ppt.

2.2.4 Kecerahan
            Pengukuran kecerahan air dengan mengunakan secchi dish. Cara pengunaan secchi dish dengan menenggelamkan secchi dish ke air laut, lihat warna hitam sampai batas tidak kelihatan lagi dan catat kedalamannya, kemudian tenggelamkan lagi sampai warna putih pada sechi dish tidak kelihatan lagi dan catat hasilnya. Kemudian hasil keduanya ditambah dan dibagi dua.
            Dari hasil pengukuran dilapangan didapatkan hasil dari pengulangan sebanyak tiga kali didapatkan hasil 2,40 meter dan 1,20 meter, setelah ditambah didapatkan hasil 3,6 dan setelah dibagi dua didapatkan hasil 1,8. Jadi dapat disimpulkan kecerahan disekitar laut calang berkisar 1, 8 meter.

2.2.5 Suhu.
            Pengukuran suhu dilakukan dengan mengunakan Termometer. Cara pengunaan Termometer dengan mencelupkan termometer kedalam air, kemudian tunggu selama kurang lebih 1 menit, kemudian angkat dan lihat ujung warna merah menunjukan diangka berapa, kemudian catat hasilnya.
            Dari hasil pengukuran dilokasi tersebut dapat disimpulkan suhu rata – rata dilaut tersebut berkisar 28 0C. kondisi suhu tersebut cocok untuk didirikan keramba jaring apung.

2.3 Permasalahan yang dihadapi oleh petani KJA.
            Masalah yang dihadapi oleh petani keramba jaring apung disekitar perairan laut kota Calang adalah hama seperti burung elang dan pencurian oleh manusia. Sedangkan untuk penyakit tidak ditemukan sama sekali, mungkin karena tidak ada penelitian lebih lanjut mengenai penyakit yang menyerang pada ikan dan selama ini petani ikan tidak menemukan ikan yang terjangkiti penyakit yang disebabkan Jamur, Bakteri ataupun Virus.





III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Ø  Dapat disimpulkan dari hasil praktikum dilaut sekitar kota calang adalah perairan ditempat tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tempat budidaya dengan mengunakan keramba jaring apung.
Ø  Komoditas utama yang dibudidayakan dikeramba jaring apung tersebut adalah lobster dan ikan kerapu.
Ø  Petani setempat mengeluhkan hama seperti burung elang dan pencurian oleh manusia.

3.2 Saran
            Saya sendiri selaku penulis laporan ini berharap praktikum ini dapat lebih baik kedepannya, karena disetiap praktikum terdapat kekurangan, saya berharap disetiap kekurangan disetiap praktikum dapat dikoreksi ulang dan menjadi bahan pembelajaran dipelaksanaan praktikum kedepannya.



DAFTAR PUSTAKA


Anonimous. 2001. Pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus fuscogu-tattus) dan
Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis) di Karamba Jaring Apung.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Balai Budidaya Laut, Lampung.
Anonimous. 2010. http://www.masrizalnet.co.cc/. budidaya ikan kerapu dalam
keramba. Diakses pada hari kamis tanggal 20 januari 2011.
Sunyoto, P. 1994. Pembesaran Kerapu dengan Karamba Jaring Apung. Penebar
Swadaya, Jakarta.