TERANCAMNYA
UDANG WINDU ACEH
1.
Latar
belakang
Indonesia dengan Negara kepulauan
terbesar di dunia mempunyai sumber daya hayati yang melimpah, salah satunya
udang. Maraknya udang vannamei yang berasal dari
Amerika Latin membuat posisi udang windu tergeser. Kebanyakan tulisan
yang memuat penelitian induk udang windu tidak menyebut sumber penelitian yang
menyatakan induk udang windu, khususnya dari Aceh, adalah induk udang windu
terbaik di dunia. Kurangnya penelitian mengenai induk udang windu Indonesia,
menjadi salah satu penyebab pengelolaannya tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Ataukah mungkin banyak penelitian yang tidak dipublikasikan kepada masyarakat.
Thailand yang pernah memproduski udang windu hasil budidaya terbesar di dunia
sampai tahun 2003, mengakui keunggulan induk udang windu di Indonesia. Staf
Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee Aceh mengungkapkan keberhasilan budidaya
udang windu di Thailand dan Vietnam karena mereka membenihkan induk udang windu
dari Aceh (Aceh Insight, 2016).
Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1970-an
Pada awal dekade 1980 terjadi “revolusi biru” di Indonesia dalam hal budidaya
udang, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun
waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa non migas terbesar pada
produk perikanan. Selepas tahun 1995 produksi udang windu mulai mengalami
penurunan. Hal itu disebabkan oleh penurunan mutu lingkungan (sedimentasi) dan serangan penyakit.
Udang windu
selain berukuran besar, juga memiliki harga jual yang tinggi di pasar nasional
maupun internasional. Provinsi Aceh merupakan salah satu dari sedikit wilayah
di Indonesia yang masih konsisten untuk memproduksi udang windu dengan sistem
tambak tradisional, dengan total produksi sebesar lebih dari 5.000 ton pada
tahun 2011. Salah satu daerah di wilayah Provinsi Aceh yang menyimpan
potensi budidaya udang windu adalah di Kabupaten Aceh Utara.
2.
Klasifikasi
Dan Morfologi Udang Windu.
Udang termasuk dalam
kelas Crustacea merupakan phyllum dari Arthropoda, yang mempunyai ciri umum
bagian tubuh luar yang dilindungi oleh karapaks yang tersusun dari calcarious dan
kitin, tubuh simetris bilateral. udang windu yang memiliki nama latin Penaeus monodon mempunyai tubuh yang
beruas dan dibungkus oleh suatu selubung yang keras yang terbentuk dari semacam
zat tanduk (chitine). Secara
Internasional, udang windu dikenal sebagai black tiger, tiger shrimp, atau
tiger prawn. Istilah tiger ini muncul karena corak tubuhnya berupa garis –
garis loreng mirip harimau, tetapi warnanya hijau kebiruan.
Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum Arthropoda. Suwignyo (1990) mengklasifikasikan udang windu sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Fillum : Arthropoda
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon
Udang
windu memiliki kulit tubuh yang keras dari bahan chitin. Warna sekujur tubuhnya
hijau kebiruan dengan motif lereng besar. Tubuh udang windu dibagi
menjadi dua bagian besar, yakni bagian cephalothorax yang terdiri atas kepala
dan dada serta bagian abdomen yang terdiri atas perut dan ekor. Cephalothorax
dilindungi oleh kulit chitin yang tebal atau juga dengan karapas (carapace).
Bagian cephalothorax ini terdiri atas lima ruas kepala dan delapan ruas dada,
sementara bagian abdomennya terdiri atas enam ruas perut dan satu ekor
(telson). Bagian depan kepala yang menjorok merupakan kelopak kepala yang
memanjang dengan bagian pinggir bergerigi atau disebut juga dengan cucuk
(rostum). Cucuk di kepala memiliki tujuh buah gerigi di bagian bawah. Sementara
itu, di bagian pangkal bawah kepala terdapat sepasang mata.
Tubuh udang windu terdiri dari dua
bagian yaitu kepala dan dada (cephalothorax) dan perut (abdomen).
Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas kepala dan 8 ruas
dada. Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle, mandibula dan 5 dua pasang
maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki jalan
(periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang tersusun seperti
genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod) dan sepasang
uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang berfungsi
sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995). Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang
(biramous), yaitu exopodite dan endopodite.
Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau
eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan istilah moulting (Mujiman
dan Suyanto, 1999).
3. Siklus Hidup Udang Windu
Perkembangan dan
pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan
pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai
menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak. Ada empat fase larva
udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius, zoea, mysis
dan post larva (Gambar 2).
Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan
bentuk beberapa kali (Gambar 2) yaitu :
a. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini
dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
b. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan
waktu sekitar 96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian
kulit.
c. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan
waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
d. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu
mencapai sub stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai
periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
e. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda
yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.
f. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode
juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang
gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan
pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt
(Soetomo, 2000).
4.
Perbedaan
Jantan Dan Betina Pada Udang Windu
Udang
jantan dan udang betina dapat dibedakan dengan melihat alat kelamin luarnya.
Alat luar jantan disebut petasma, yang terdapat pada kak renang pertama.
Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal kaki jalan ke-4
dan ke-5. Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal kaki
jalan ke-3. Alat kelamin primer yang disebut gonad terdapat didalam bagian
kepala dada. Pada udang jantan yang dewasa gonad akan menjadi testes yang
berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Sedangkan pada udang betina gonad
akan menjadi ovarium (indung telur) yang berfungsi untuk menghasilkan telur dan
Ovarium yang telah matang akan meluas sampai ke ekor. Sperma yang dihasilkan
oleh udang jantan pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung seperti lender
yang dinamakan spermatophora (kantung sperma). Dengan bantuan petasma,
spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina bertelur spermatophora akan
pecah dan sel-sel spermanya akan membuahi telur di luar badan induknya (Mujiman
dan Suyanto, 2005).
5.
Udang Windu Di Aceh.
Provinsi Aceh/NAD
adalah salah satu daerah penghasil udang windu terbesar di Indonesia. Namun
sekarang ini banyak petani tambak hanya memelihara ikan bandeng saja, hasilnya
pun kurang baik bahkan sering rugi. Sekarang banyak tambak yang sudah
ditelantarkan begitu saja, hal ini disebabkan penyakit yang terus menerus
menyerang udang windu sehingga gagal panen. Baru 1-2 bulan pemeliharan, udang
sudah mati.
Keberadaan hutan
bakau pada lingkungan pantai merupakan suatu kesatuan ekosistem yang utuh. .
Hutan bakau merupakan areal tempat kehidupan benih bermacam–macam jenis udang,
kepiting, ikan, kerang– kerangan dan sebagainya. Hutan bakau sudah lama dikenal
sebagai kontributor terhadap rantai makanan di perairan pantai, yaitu melalui
proses pembusukan daun-daun bakau yang jatuh keair. Hubungan erat ini
dicerminkan dalam korelasi positif antara luas hutan bakau dan produksi udang
yang menunjukkan keterkaitan antara keduanya. Artinya, bila hutan bakau hilang
atau berkurang, maka produksi udang tangkapan alam pun berkurang. Pengaruh yang
sama juga akan dialami oleh udang yang dipelihara ditambak. Bahkan ada indikasi
kuat bahwa tambak–tambak yang udangnya terserang penyakit adalah tambak yang
dibangun didaerah yang hutan bakaunya telah rusak atau tidak ada sama sekali.
Sebaliknya, tambak-tambak yang dibangun didaerah dengan kepadatan hutan bakau
yang tinggi, tidak terserang hama penyakit. Hal ini disebabkan oleh fungsi lain
hutan bakau sebagai “biofilter” (penyaring alami) bagi organisme-organisme yang
merugikan sehingga tidak dapat masuk ke wilayah pertambakan. Jenis
kerang-kerangan (bivalvae) yang hidup dilingkungan hutan bakau juga merupakan
bio filter yang cukup baik, yakni sebagai penyaring masuknya organisme atau pun
senyawa-senyawa yang merugikan.
Oleh sebab itu, jika
membangun tambak untuk budidaya udang windu, keberadaan hutan bakau harus tetap
dipertahankan. Bila hutan bakau dimusnahkan, menurut para ahli lingkungan,
berbagai fauna dan flora yang menjadi sumber kehidupan manusia akan punah.
Kekayaan dan kesuburan air laut dan pantai sangat dipengaruhi oleh kelestarian
hutan bakau itu. Penggunaan pupuk makro dan racun kimia secara terus menerus
juga dapat menghilangkan hara tanah dan merusak lahan tambak. Lama kelamaan
akan menjadi racun bagi udang maupun ikan yang kita pelihara. Residu
pupuk-pupuk yang telah dipakai dalam jangka waktu yang lama tersebut mengendap
didalam tanah dan tidak bisa dikeluarkan lagi. Walaupun dengan mekanisme
pembajakan/pembalikan tanah dan pembuangan lumpur serta pencucian, yaitu dengan
membiarkan /ditelantarkan tambak sementara waktu dicuci oleh air pasang surut.
Sewaktu - waktu residu yang telah mengendap lama tersebut muncul dan mencemari
air tambak sehingga menjadi racun bagi udang/ ikan yang kita pelihara.
Udang/ikan menjadi stress dan bisa mati mendadak. Marilah bersama - sama kita
berusaha, berdoa dan menjaga kelestarian alam ini, untuk warisan dan tempat
tinggal kepada anak cucu kita kelak.
Lembaga swadaya masyarakat Internasional WWF-Indonesia
berkeinginan untuk mepertahankan dan melestarikan komoditi udang windu.
Mengingat saat ini sudah banyak petambak udang di Indonesia meninggalkan udang
windu beralih ke komoditi udang vannamaei. Padahaludang windu merupakan
komoditi perikanan asli Indonesia dan masih memiliki nilai ekonomis tinggi.
Beralihnya sebagian besar petambak udang windu karena “Tiger Prawn” itu sedang
dilanda banyak masalah. Untuk mengajak petambak agar tidak meninggalkan udang
windu maka WWF-Indonesia merangkul penyuluh perikanan dan pembudidaya di
kecamatan Suppa Pinrang mengaplikasikan budidaya udang windu system BMP.
BMP adalah pengadopsian praktik pengelolaan ramah
lingkungan atau Better Management Practices (BMP) Budidaya Udang Windu Tanpa
Pakan dan Tanpa Aerasi. BMP adalah
panduan dikeluarkan WWF-Indonesia untuk membantu penerapan praktik perikanan
bertanggung jawab secara sosial dan berkelanjutan baik, ekonomi dan kelestarian
lingkungan. BMP ini sesuai standar Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk
perikanan budidaya atau Marine Stewarship Council (MSC) untuk perikanan tangkap.
WWF-Indonesia melalui Better Management Pratice (BMP) Budidaya Udang Windu hadir
untuk membina para petambak yang berada di Provinsi Aceh, seperti yang terjadi
di Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. WWF–Indonesia sebagai
salah satu lembaga konservasi di
Indonesia telah melakukan berbagai upaya dengan menggandeng berbagai instasi
terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Aceh untuk mendukung
kelompok nelayan dan pembudidaya serta kelompok swadaya masyarakat yang
berkomitmen positif untuk mentransformasi kelompok dampingan mereka menjadi berkelanjutan
dan bertanggungjawab.
Kelompok JUN (Jak U Neuhuen)
merupakan salah satu kelompok budi daya udang yang dikenal baik oleh masyarakat
Kecamatan Blang Mangat serta Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan (DKPP)
Kota Lhokseumawe – Aceh. Melalui kelompok ini di harapkan sebagai model
dan percontohan agar udang windu dari aceh tetap lestari dan tidak di gantikan
dengan udang vanamei yang bukan udang asli dari wilayah Indonesia.