burung twitter

berjalan

SEGALA YANG HIDUP DIPERAIRAN ADALAH MILIK PERIKANAN

Wednesday 24 August 2016

TERANCAMNYA UDANG WINDU ACEH

TERANCAMNYA UDANG WINDU ACEH


1.      Latar belakang
Indonesia dengan Negara kepulauan terbesar di dunia mempunyai sumber daya hayati yang melimpah, salah satunya udang. Maraknya udang vannamei yang berasal dari Amerika Latin membuat posisi udang windu tergeser. Kebanyakan tulisan yang memuat penelitian induk udang windu tidak menyebut sumber penelitian yang menyatakan induk udang windu, khususnya dari Aceh, adalah induk udang windu terbaik di dunia. Kurangnya penelitian mengenai induk udang windu Indonesia, menjadi salah satu penyebab pengelolaannya tidak diperhatikan oleh pemerintah. Ataukah mungkin banyak penelitian yang tidak dipublikasikan kepada masyarakat. Thailand yang pernah memproduski udang windu hasil budidaya terbesar di dunia sampai tahun 2003, mengakui keunggulan induk udang windu di Indonesia. Staf Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee Aceh mengungkapkan keberhasilan budidaya udang windu di Thailand dan Vietnam karena mereka membenihkan induk udang windu dari Aceh (Aceh Insight, 2016).
Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1970-an Pada awal dekade 1980 terjadi “revolusi biru” di Indonesia dalam hal budidaya udang, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa non migas terbesar pada produk perikanan. Selepas tahun 1995 produksi udang windu mulai mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh penurunan mutu lingkungan (sedimentasi) dan serangan penyakit. 
Udang windu selain berukuran besar, juga memiliki harga jual yang tinggi di pasar nasional maupun internasional. Provinsi Aceh merupakan salah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang masih konsisten untuk memproduksi udang windu dengan sistem tambak tradisional, dengan total produksi sebesar lebih dari 5.000 ton pada tahun 2011. Salah satu daerah di wilayah Provinsi Aceh yang menyimpan potensi budidaya udang windu adalah di Kabupaten Aceh Utara. 

2.      Klasifikasi Dan Morfologi Udang Windu.
Udang termasuk dalam kelas Crustacea merupakan phyllum dari Arthropoda, yang mempunyai ciri umum bagian tubuh luar yang dilindungi oleh karapaks yang tersusun dari calcarious dan kitin, tubuh simetris bilateral. udang windu yang memiliki nama latin Penaeus monodon mempunyai tubuh yang beruas dan dibungkus oleh suatu selubung yang keras yang terbentuk dari semacam zat tanduk (chitine). Secara Internasional, udang windu dikenal sebagai black tiger, tiger shrimp, atau tiger prawn. Istilah tiger ini muncul karena corak tubuhnya berupa garis – garis loreng mirip harimau, tetapi warnanya hijau kebiruan.

Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum Arthropoda. Suwignyo (1990) mengklasifikasikan udang windu  sebagai berikut :
Kingdom                     : Animalia
Fillum                          : Arthropoda
Subfillum                    : Crustacea
Kelas                           : Malacostraca
Ordo                            : Decapoda
Famili                          : Penaeidae
Genus                          : Penaeus
Spesies                        : Penaeus monodon              

Udang windu memiliki kulit tubuh yang keras dari bahan chitin. Warna sekujur tubuhnya hijau kebiruan dengan motif lereng  besar. Tubuh udang windu dibagi menjadi dua bagian besar, yakni bagian cephalothorax yang terdiri atas kepala dan dada serta bagian abdomen yang terdiri atas perut dan ekor. Cephalothorax dilindungi oleh kulit chitin yang tebal atau juga dengan karapas (carapace). Bagian cephalothorax ini terdiri atas lima ruas kepala dan delapan ruas dada, sementara bagian abdomennya terdiri atas enam ruas perut dan satu ekor (telson). Bagian depan kepala yang menjorok merupakan kelopak kepala yang memanjang dengan bagian pinggir bergerigi atau disebut juga dengan cucuk (rostum). Cucuk di kepala memiliki tujuh buah gerigi di bagian bawah. Sementara itu, di bagian pangkal bawah kepala terdapat sepasang mata.
Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas kepala dan 8 ruas dada. Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle, mandibula dan 5 dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod) dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang berfungsi sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995). Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite dan  endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan istilah moulting (Mujiman dan Suyanto, 1999).

3.      Siklus Hidup Udang Windu


Perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan  bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva dimulai  dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak.  Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius, zoea, mysis dan post larva (Gambar 2).
Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali (Gambar 2) yaitu :
a.       Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
b.      Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
c.       Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
d.      Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
e.       Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.
f.       Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad,  udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo, 2000).

4.      Perbedaan Jantan Dan Betina Pada Udang Windu
Udang jantan dan udang betina dapat dibedakan dengan melihat alat kelamin luarnya. Alat luar jantan disebut petasma, yang terdapat pada kak renang pertama. Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5. Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal kaki jalan ke-3. Alat kelamin primer yang disebut gonad terdapat didalam bagian kepala dada. Pada udang jantan yang dewasa gonad akan menjadi testes yang berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Sedangkan pada udang betina gonad akan menjadi ovarium (indung telur) yang berfungsi untuk menghasilkan telur dan Ovarium yang telah matang akan meluas sampai ke ekor. Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung seperti lender yang dinamakan spermatophora (kantung sperma). Dengan bantuan petasma, spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina bertelur spermatophora akan pecah dan sel-sel spermanya akan membuahi telur di luar badan induknya (Mujiman dan Suyanto, 2005).
5.      Udang Windu Di Aceh.
Provinsi Aceh/NAD adalah salah satu daerah penghasil udang windu terbesar di Indonesia. Namun sekarang ini banyak petani tambak hanya memelihara ikan bandeng saja, hasilnya pun kurang baik bahkan sering rugi. Sekarang banyak tambak yang sudah ditelantarkan begitu saja, hal ini disebabkan penyakit yang terus menerus menyerang udang windu sehingga gagal panen. Baru 1-2 bulan pemeliharan, udang sudah mati. 
Keberadaan hutan bakau pada lingkungan pantai merupakan suatu kesatuan ekosistem yang utuh. . Hutan bakau merupakan areal tempat kehidupan benih bermacam–macam jenis udang, kepiting, ikan, kerang– kerangan dan sebagainya. Hutan bakau sudah lama dikenal sebagai kontributor terhadap rantai makanan di perairan pantai, yaitu melalui proses pembusukan daun-daun bakau yang jatuh keair. Hubungan erat ini dicerminkan dalam korelasi positif antara luas hutan bakau dan produksi udang yang menunjukkan keterkaitan antara keduanya. Artinya, bila hutan bakau hilang atau berkurang, maka produksi udang tangkapan alam pun berkurang. Pengaruh yang sama juga akan dialami oleh udang yang dipelihara ditambak. Bahkan ada indikasi kuat bahwa tambak–tambak yang udangnya terserang penyakit adalah tambak yang dibangun didaerah yang hutan bakaunya telah rusak atau tidak ada sama sekali. Sebaliknya, tambak-tambak yang dibangun didaerah dengan kepadatan hutan bakau yang tinggi, tidak terserang hama penyakit. Hal ini disebabkan oleh fungsi lain hutan bakau sebagai “biofilter” (penyaring alami) bagi organisme-organisme yang merugikan sehingga tidak dapat masuk ke wilayah pertambakan. Jenis kerang-kerangan (bivalvae) yang hidup dilingkungan hutan bakau juga merupakan bio filter yang cukup baik, yakni sebagai penyaring masuknya organisme atau pun senyawa-senyawa yang merugikan.
Oleh sebab itu, jika membangun tambak untuk budidaya udang windu, keberadaan hutan bakau harus tetap dipertahankan. Bila hutan bakau dimusnahkan, menurut para ahli lingkungan, berbagai fauna dan flora yang menjadi sumber kehidupan manusia akan punah. Kekayaan dan kesuburan air laut dan pantai sangat dipengaruhi oleh kelestarian hutan bakau itu. Penggunaan pupuk makro dan racun kimia secara terus menerus juga dapat menghilangkan hara tanah dan merusak lahan tambak. Lama kelamaan akan menjadi racun bagi udang maupun ikan yang kita pelihara. Residu pupuk-pupuk yang telah dipakai dalam jangka waktu yang lama tersebut mengendap didalam tanah dan tidak bisa dikeluarkan lagi. Walaupun dengan mekanisme pembajakan/pembalikan tanah dan pembuangan lumpur serta pencucian, yaitu dengan membiarkan /ditelantarkan tambak sementara waktu dicuci oleh air pasang surut. Sewaktu - waktu residu yang telah mengendap lama tersebut muncul dan mencemari air tambak sehingga menjadi racun bagi udang/ ikan yang kita pelihara. Udang/ikan menjadi stress dan bisa mati mendadak. Marilah bersama - sama kita berusaha, berdoa dan menjaga kelestarian alam ini, untuk warisan dan tempat tinggal kepada anak cucu kita kelak. 
Lembaga swadaya masyarakat Internasional WWF-Indonesia berkeinginan untuk mepertahankan dan melestarikan komoditi udang windu. Mengingat saat ini sudah banyak petambak udang di Indonesia meninggalkan udang windu beralih ke komoditi udang vannamaei. Padahaludang windu merupakan komoditi perikanan asli Indonesia dan masih memiliki nilai ekonomis tinggi. Beralihnya sebagian besar petambak udang windu karena “Tiger Prawn” itu sedang dilanda banyak masalah. Untuk mengajak petambak agar tidak meninggalkan udang windu maka WWF-Indonesia merangkul penyuluh perikanan dan pembudidaya di kecamatan Suppa Pinrang mengaplikasikan budidaya udang windu system BMP.
BMP adalah pengadopsian praktik pengelolaan ramah lingkungan atau Better Management Practices (BMP) Budidaya Udang Windu Tanpa Pakan dan Tanpa Aerasi. BMP adalah panduan dikeluarkan WWF-Indonesia untuk membantu penerapan praktik perikanan bertanggung jawab secara sosial dan berkelanjutan baik, ekonomi dan kelestarian lingkungan. BMP ini sesuai standar Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk perikanan budidaya atau Marine Stewarship Council (MSC) untuk perikanan tangkap.
WWF-Indonesia melalui Better Management Pratice (BMP) Budidaya Udang Windu hadir untuk membina para petambak yang berada di Provinsi Aceh, seperti yang terjadi di Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. WWFIndonesia sebagai salah satu lembaga konservasi di Indonesia telah melakukan berbagai upaya dengan menggandeng berbagai instasi terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Aceh untuk mendukung kelompok nelayan dan pembudidaya serta kelompok swadaya masyarakat yang berkomitmen positif untuk mentransformasi kelompok dampingan mereka menjadi berkelanjutan dan bertanggungjawab.

Kelompok JUN (Jak U Neuhuen) merupakan salah satu kelompok budi daya udang yang dikenal baik oleh masyarakat Kecamatan Blang Mangat serta Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan (DKPP) Kota Lhokseumawe – Aceh. Melalui kelompok ini di harapkan sebagai model dan percontohan agar udang windu dari aceh tetap lestari dan tidak di gantikan dengan udang vanamei yang bukan udang asli dari wilayah Indonesia.

Tuesday 23 August 2016

PAPER KONSERVASI PENYU DI ACEH

PAPER KONSERVASI PENYU DI ACEH

BAB 1. LATAR BELAKANG


Biologi Konservasi merupakan bagian dari ilmu biologi dengan latar multi disiplin ilmu yang bertujuan mempelajari permasalahan di bidang keragaman hayati serta bagaimana memecahkan permasalahan tersebut. Tujuan utama biologi konservasi adalah untuk memelihara tiga aspek penting kehidupan bumi: 1) Keragaman hayati yang terdapat dalam system kehidupan (keragaman hayati); 2) Komposisi, struktur, dan fungsi system tersebut (keutuhan ekologi); dan 3) Kemampuan aspek-aspek tersebut dalam menyesuaikan seiring waktu) kesehatan ekologi Ismu Sutanto Suwelo, dkk (1992). Nuitja, I. N. S. (1997) mengemukakan bahwa Biologi Konservasi bertujuan untuk melindungi dan melestarikan :
1. Keragaman biologi: keragaman biologi adalah berbagai organisme pada semua tingkatan organisasi, termasuk gen, spesies, level taksonomi yang lebih tinggi, dan berbagai habitat dan ekosistem.
2. Keutuhan ekologi: keutuhan ekologi adalah tingkat di mana sekumpulan organism menjaga keutuhan komposisinya, strukturnya, dan fungsi seiring waktu relative dibandingkan sekumpulan lainnya yang belum terganggu oleh aktivitas manusia.
3. Kesehatan ekologi: kesehatan ekologi adalah ukuran relative kondisi suatu ekosistem berkaitan dengan kemampuannya menghadapi stress dan menjaga organisasi dan kemampuan mengatur diri sendiri seiring waktu.
            Nilai penting keragaman hayati, keutuhan ekologi dan kesehatan ekologi
Konservasi alam dipertimbangkan penting atas dasar tiga alasan: 1) nilai intrinsik; 2) nilai instrumental / ekonomis; 3) nilai psikologis (emosional, spiritual). Nilai intrinsic adalah nilai-nilai alami itu sendiri terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Nilai instrumental adalah nilai alam berdasarkan kegunaannya bagi manusia, biasanya diukur dalam nilai ekonomis dan jasanya. Sedangkan nilai psikologis adalah nilai alam dalam bentuk kontribusi alam bagi psikologis manusia (esmosional, spiritual, dan estetik) (
Ka, U.W.H.T. 2000).
            Konsep dasar pemahaman keragaman hayati, keutuhan dan kesehatan ekologi
Pemahaman akan pentingnya komponen alam yang perlu dipertimbangkan untuk dalam upaya konservasi berdasar pemahaman berbagai konsep kunci biologis, termasuk taksonomi, ekologi, genetic, geografi, dan biologi evolusi. Komponen kunci tersebut adalah: hirarki taksonomi, hirarki ekologis, keragaman genetic, konsep spesies, pertumbuhan populasi, distribusi spesies, komunitas dan ekosistem, stokastik (stokastik adalah kemungkinan suatu individu di alam dapat bertahan hidup dari satu periode ke periode lain), dan kepunahan (hilangnya garis evolusi suatu spesies) (
Ismu Sutanto Suwelo. dkk,1992).
Perlindungan dan Restorasi keragaman hayati, keutuhan ekologi, dan kesehatan ekologi Konservasi sumber daya alam memerlukan kombinasi berbagai strategi, termasuk perlindungan spesies teracam punah, pencadangan kawasan ekologi, pengendalian kegiatan manusia yang dapat merusak ekosistem, restorasi ekosistem, penangkaran, pengendalian spesies bukan asli, dan pendidikan biologi konservasi. Perlindungan spesies terancam punah. Spesies dengan resiko kepunahan memerlukan perlindungan dari berbagai eksploitasi dan hilangnya habitat. Perlidungan spesies dilakukan dengan dengan melakukan identifikasi factor-faktor yang mengarahkan pada penurunan ukuran populasi serta penghilangan factor-faktor tersebut. Sistem pencadangan kawasan ekologi. Kawasan yang ditujukan untuk keperluan konservasi perlu dibentuk dan dikelola sehingga dapat melindungi suatu ekosistem secara utuh, termasuk perlindungan terhadap spesies-spesies terancam punah. Kawasan ini merupakan suatu kawasan yang dikelola dengan tujuan utama untuk perlindungan spesies dari kepunahan, serta mempromosikan proses-proses ekologi dan evolusi. Efektivitas sistem ini sangat dipengaruhi berbagai aspek, termasuk tekanan terhadap kawasan, aktivitas yang dilakukan di dalam kawasan, konektivitas habitat bagi organisme di dalamnya. Kawasan ini perlu pula dipersiapkan untuk menghadapi dampak perubahan iklim global yang dapat mengancam spesies yang dilindungi di dalamnya. Restorasi ekosistem. Ekosistem yang sudah terdegradasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dan perubahan komposisi spesies perlu dilakukan upaya restorasi terhadapnya sehingga dapat mencapai kondisi sedekat mungkin dengan kondisi alaminya. Upaya restorasi dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas penghilangan tekanan terhadap ekosistem, penghilangan spesies exotic, serta restorasi proses-proses ekologi (Yusuf, a. 2000)
Penyu merupakan salah satu spesies yang terancam punah, Sebagian orang menganggap penyu adalah salah satu hewan laut yang memiliki banyak kelebihan. Selain tempurungnya yang menarik untuk cendramata diantaranya ganggang kacamata mewah, dagingnya lezat ditusuk jadi Sate penyu berkhasiat untuk obat dan ramuan kecantikan. Terutama di Tiongkok dan Bali, penyu menjadi bulan-bulanan ditangkap, disantap, tergusur dari pantai, telurnya pun diambil. Meski sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pelestarian Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang melindungi semua jenis penyu, perburuan terhadap hewan yang berjalan lamban ini terus berlanjut. Tingginya minat masyarakat untuk mengkonsumsi telur penyu karena adanya anggapan bahwa telur penyu mampu meningkatkan stamina pria. Sebenarnya, komposisi telur penyu sedikit lebih tinggi (kadar gizinya selisih 1.24 %) dari telur ayam. Kandungan gizi telur penyu mentah adalah protein 13.04 %, air 58.87 %, lemak 23.88 % dan kandungan gizi telur penyu matang adalah protein 14.05 %, air 56.65 %, lemak 24.45 % sedangkan komposisi gizi telur ayam utuh adalah protein 11.80 %, air 65.50 %, lemak 11.00 % (Yusuf, a. 2000)
Sangat kecilnya presentase tersebut lebih diperparah lagi dengan penjarahan oleh manusia yang mengambil telur-telur tersebut segera setelah Induk-induk dari penyu tadi bertelur. Sangat di sayangkan memang, walaupun beberapa daerah pengeraman alami telur penyu jauh dari pemukiman penduduk, namun tidak luput dari perburuan illegal oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kondisi ini semakin menurunkan populasi penyu laut di lingkungan asli mereka.  Keunikannya tidak akan tampak lagi, saat banyak dari penduduk pantai merusak dan menjarah telur-telur meraka, memburuh induk-induk meraka dan merusak rumah-rumah mereka (Suwelo, I.S., 1990)
Dewasa ini memang sangat mendesak adanya upaya manajeman perlindungan lingkungan asli hewan ini yang tidak hanya berlaku pada suatu kawasan perteluran hewan ini namun juga di beberapa daerah yang merupakan jalur migrasi hewan ini dalam mencari makan. Upaya konservasi dan perlindungan harusnya bukan hanya di atas kertas saja namun lebih kearah praktek pemeliharaan yang rill guna menjaga kelangsungan hidup dan lingkungan alami hewan ini. Tentunya upaya ini akan bermuara ke realitas perlindungan lingkungan yang rill dan pemeliharaan biodiversity laut agar anak cucu kita masih dapat menyaksikan hewan ini berenang lincah di lautan bebas (Suwelo, I.S., 1990).







BAB II. PEMBAHASAN KONSERVASI PENYU DI ACEH


2.1 Gambaran Umum Tentang Penyu.
Penyu laut adalah adalah hewan yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di bawah permukaan laut.  Penyu adalah salah satu anggota dari kelas Reptil dan filum Chordata. Penyu termasuk bangsa testudinata yang terbagi menjadi dua suku yaitu Chelonidae. Cangkang penyu yang ringan namun keras berfungsi melindungi tubuh dari pengaruh luar. Kaki penyu berubah menjadi sirip berbentuk dayung pipih yang lebar dan agak memanjang. Bentuk ini memberikan kemampuan penyu untuk bergerak bebas, berenang cepat  menghindari pemangsa, merayap di darat dan menggali lubang untuk bertelur. Induk betina dari hewan ini hanya sesekali kedaratan untuk meletakkan telur-telurnya di darat pada substrat berpasir yang jauh dari pemukiman penduduk.  Untuk penyu hijau, seekor Induk betina dapat melepaskan telur-telurnya sebanyak 60 – 150 butir. Dari 7 jenis penyu sisik yang tersebar di seluruh dunia, 6 diantaranya ada di Indonesia. Seluruh jenis penyu sisik tersebut kini dilindungi oleh pemerintah karena terancam punah (Yusuf, a. 2000)

2.2 Jenis-Jenis Penyu.
A.    Penyu Hijau (Chelonia mydas)
Penyu hijau memiliki ciri-ciri karapas berbentuk oval dengan 5 buah neural, 4 buah coastal, 10 buah marginal dan bentuk karapasnya tidak meruncing di punggung serta memiliki kepala yang bundar. Memiliki sepasang kaki depan dan sepasang kaki belakang, kuku pada kaki depannya hanya satu, warna karapasnya coklat atau kehitam-hitaman. Ukuran panjang penyu hijau antara 80150 cm dengan berat dapat mencapai 132 kg. Penyu hijau sangat jarang ditemui di perairan beriklim sedang, tetapi sangat banyak tersebar di wilayah tropis dekat dengan pesisir benua dan sekitar kepulauan. Penyu hijau dewasa merupakan herbivora dengan makanan utamanya adalah lamun dan alga, sedangkan tukik penyu hijau merupakan omnivora. Penyu hijau terdapat di kawasan pesisir Afrika, India dan Asia Tenggara serta sepanjang garis pantai Australia dan Kepulauan Pasifik Selatan (Yusuf, a. 2000).


B.     Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)
Penyu lekang memiliki karapas berbentuk kubah tinggi, terdiri dari 5  pasang coastal scutes dimana setiap sisinya terdiri dari 6-9 bagian, bagian pinggir karapasnya lembut. Penyu lekang ini serupa dengan penyu hijau namun kepalanya lebih besar dan bentuk karapasnya lebih langsing dan bersudut. Penyu lekang merupakan penyu karnivor, makannya berupa kepiting, kerang, udang dan kerang remis (Yusuf, a. 2000).

C.    Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)
Dikatakan penyu sisik karena seluruh permikaan tubuhnya terselimutin oleh sisik,dan sisiknya tumpang tindih,warnanya bervariasi ada yang warnanya kuning,hitam, dan coklat bersih.penyu sisik ini selalu memilih kawasan yang gelap sunyi dan berpasi untuk bertelur (Yusuf, a. 2000).

D.    Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
Penyu belimbing merupakan penyu yang tidak bersisik dan dikatakan penyu yang terbesar diantara penyu – penyu lainnya.penyu ini dikatakan penyu belimbing karna bentuk tubuhnya menyerupai bentuk buah belimbing.tubuhnya diselimuti oleh lapisan tipis,lunak namun sangat kuat dan elastis layaknya kulit.penyu ini memeliki  kemampuan menyelam yang luar biasa.tercatat mampu menyelam sampai kedalaman 1.000 meter.sangat fantastikberbeda dengan jenis penyu lainnya.penyu ini tidak memeliki rahang yang cukup kuat untuk memecahkan biota laut yang keras (Yusuf, a. 2000).

E.     Penyu Pipih (Natator depressus)
Penyu ini dikatakan penyu pipih karena penyu ini berbentuk pipih.penyu ini ditemukan diaustralia meskipun sering ditemukan dilaut Indonesia,meskipun tidak bertelur disini. Hal ini disebabkan karna letak geografis.kedua Negara (Yusuf, a. 2000).

F.     Penyu Tempayan (Caretta caretta)
Warna karapanya berwarna coklat kemerahan,kepalanya yang besar dan paruh yang bertumpuk.penyu berbentuk tempayan banya bertelur didaerah subtropis.kadang – kadang ditemukan didaerah  perairan Indonesia (Yusuf, a. 2000).
2.3 Habitat Penyu
Habitat adalah suatu daerah yang ditempati makhluk hidup, memiliki  komponen biotik dan abiotik, berupa ruang, lahan, makanan, lingkungan dan makhluk hidup lainnya. Penyu hidup di dua habitat yang bebeda yaitu habitat darat sebagai tempat peneluran (nesting ground) yang memiliki beberapa karekteristik dan habitat laut sebagai habitat utama bagi keseluruhan hidupnya. Habitat darat merupakan tempat peneluran (nesting ground) bagi penyu betina. Dalam satu kali musim peneluran penyu akan bertelur tiga kali dengan rata-rata jumlah telur 110 telur (Yusuf, a. 2000).
Penyu memiliki kecenderungan memilih tempat tertentu sebagai pantai penelurannya. Umumnya pantai penelurannya adalah daratan luas dan landai yang terletak di atas pantai dengan rata-rata kemiringan 30° serta diatas pasang surut antara 30 sampai 80 meter, memiliki butiran pasir tertentu yang mudah digali dan secara naluriah dianggap aman untuk bertelur. Selain itu pantai yang didominasi oleh vegetasi pandan laut memberikan rasa aman tersendiri bagi penyu yang bertelur. Idealnya dalam proses peneluran penyu ada beberapa faktor yang dapat mendukung aktivitas tersebut seperti suasana yang sunyi, tidak terdapat penyinaran dan tidak ada aktivitas pergerakan yang dapat mengganggu penyu menuju pantai (Ismu Sutanto Suwelo, dkk, 1992)
Habitat laut merupakan tempat yang utama bagi kehidupan penyu. Perairan tempat hidup penyu adalah laut dalam terutama samudera di perairan tropis, sedangkan tempat kediaman penyu adalah daerah yang relatif agak dangkal, tidak lebih dari 200 meter dimana kehidupan lamun dan rumput laut masih terdapat. Daerah yang lebih disukai penyu adalah daerah yang mempunyai batu-batu sebagai tempat menempel berbagai jenis makanan penyu dan berbagai tempat berlindung. Chelonia mydas tergolong herbivora yang mencari makan pada daerah-daerah yang dangkal dimana alga laut seperti Zostera, Chymodocea, Thallasia dan Hallophila masih dapat tumbuh dengan baik (Yusuf, 2000)
Penyu hijau adalah jenis penyu yang tahan terhadap kisaran suhu yang lebar (eurythermal), meskipun demikian penyu hijau ditemukan lebih aktif bergerak di laut sub tropis bersuhu 18°C - 22°C dan di laut tropis bersuhu 26°C-30°C. Penyu hijau pernah ditemukan di Laut Izu (Jepang) pada musim dingin ketika suhu mencapai 13°C. Pada suhu seperti ini, gerakan penyu hijau menjadi lemah (Ismu Sutanto Suwelo, dkk, 1992)

2.4 Penyebab Kepunahan Penyu
                  Penyebab punahnya penyu adalah dikarenakan oleh ulah manusia, manusia merupakan predator yang menfaatkan penyu untuk kebutuhan hidupnya.manusia memanfaatkan penyu untuk dikonsumsi, dijadikan perhiasan untuk ambil cangkangnya, telur – telur penyu diambil dan diperjual belikan dipasar untuk mendapatkan uang.selain manusia kepunahan penyu juga disebabkan oleh lingkungan yang tidak memungkinkan terhadap penyu yang tidak memungkinkan penyu untuk beradaptasi (Suwelo, I.S., 1990).

2.5 Upaya Pelestarian Penyu
Agar penyu tetap lestari dan berkembang menjadi banyak maka perlu dilakukan, menurut Suwelo, I.S., (1990) sebagai berikut :
1.      Dibuatnya Peraturan Perundang - Undangan Tentang Penyu.
Dengan dibuatnya peraturan – peraturan tentang penyu kepada masyarakat terutama nelayan yang aktivitas – aktivitas sehari – harinya berada di laut agar tidak melakukan penangkapan terhadap penyu baik telur atau penyu itu sendiri.jika hal itu terjadi maka akan dikenakan sangsi sesuai dengan undang – undang yang berlaku.

2.      Tidak Mengkonsumsi Penyu
Selain tidak menangkap kita juga jangan mengkonsumsi baik dagin atau pun telurnya, kita bisa menggantikan lauk makanan dengan sayuran atau ikan ikan yang banyak dan mudah kita dapat.dan tidak langka di laut.

3.      Tidak Melakukan Pemburuan Penyu
Untuk mempertahan kan penyu tetap lestasi sepatutnya kita tidak malakukan pemburuan terhadap penyu,untuk kesenangan semata karena penyu merupakan hewan penjasa keseimbangan ekosistem laut.

4.      Tidak Membuang Sampah (Plastik) Dilaut
Pembuangan sampah juga berakibat terhadap keselamatan penyu. Terutama sampah plastik sangat berbahaya karena dikinya plastik tersebut dianggap ubur – ubur yang merupakan makanan bagi penyu,oleh karenanya pemerintah melarang pembuangan sampah plastic ke laut.karena akan mengakibatkan terancamnya penyu – penyu bahkan menyebabkan kematian.

5.      Melakukan Penangkaran
Tujuan melakukan pengkaran yaitu agar penyu – penyu terhindar dari kepunahan baik penangkaran secara exsitu maupun insitu.

6.      Tidak Mengganggu Penyu  Yang Sedang Bertelur
Penyu sangat peka jika saat mengeluarkan telurnya diganggu baik manusia,hehan lainnya penyu tersebut akan mengahiri telurnya dan kembali kelaut, penyu akan bisa bertelur kembali setelah mencapai dua tahun.

2.6 Upaya Konservasi Penyu Di Aceh.
Tak bisa dipungkiri, banyak terjadi perburuan telur penyu di wilayah pantai Aceh. Telur penyu bisa dengan mudah ditemui dipasar, diperjualbelikan secara bebas. Padahal penyu saat ini merupakan hewan yang terancam punah sehingga kelestariannya harus dijaga. Namun menjaga kelestarian penyu bukan hal yang mudah ditengah maraknya pemburuan telur penyu.
Upaya-upaya konservasi yang dilakukan selama ini oleh WWF-Indonesia Program Aceh bersama tim LSM A.P.A adalah dengan mendorong qanun tentang konservasi khusus perlindungan penyu di Panga, Kabupaten Aceh Jaya yang di bantu oleh Tim Konservasi Aroen Meubanja yang di ketuai Muniardi AR yang berkedudukan dan terbentuk di panga. Qanun ini telah mencapai pembahasan tahap akhir, di perkirakan awal tahun depan sudah bisa di aplikasikan pengunaanya. Konservasi penyu di panga telah di mulai dari tahun 2012 dan di motori oleh Tim Konservasi Aroen Meubanja, dan telah menyelamatkan kurang lebih 24 sarang dan trus berlanjut. Di harapkan dengan di sahkan qanun tentang penyu ini dapat meminimalisir, menghambat perburuan telur penyu liar serta menyadarkan masyarakat tentang pentingnya penyu bagi ekosistem laut dan masyarakat tetap mendapatkan manfaat dari penyu ini tetapi bukan dari telur dan daging penyu tetapi dari ekosistem laut yang tetap terjaga. 
Sementara itu, dari tempat lain di daerah pantai kabupaten aceh besar seperti Ujung Pancu, Lhoknga, Lampuuk dan pantai Syiah kuala. Lembaga jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA) mereka mencoba memunculkan sebuah kesepakatan pengelolaan konservasi penyu di wilayah Aceh Besar. Konsepnya menawarkan kesepakatan dimana semua pihak mendapat bagian dari pengambilan telur penyu jika pemburu ada tiga orang mendapatkan 10 telur, maka telur-telur ini dibagi kepada empat pihak, termasuk alam sebagai salah satu pihak. Telur yang menjadi bagian alam tidak boleh diambil tetapi dibawa ke tempat penangkaran agar bisa menetas. Selain kesepakatan pembagian hasil, juga ada kesepakatan membentuk tim patroli bersama dengan bekas pemburu telur penyu. Bekas pemburu ini diajak untuk masuk tim patroli dalam rangka konservasi penyu termasuk saat proses pelepasan dan penangkaran. Selain itu jaringan KuALA juga membeli telur penyu dari pemburu walaw tindakan ini tidak populer kerna tidak mendidik masyarakat khususnya pemburu telur penyu dan menghabiskan dana karena sehingga para pemburu akan terus bersemangat untuk mencari telur penyu. Selain itu jaringan KuALA mengedukasi masyarakat dengan diadakannya pelatihan, jadi masyarakat yang telah mendapatkan pelatihan mampu mengidentifikasi jenis penyu. Jaringan KuALA berharap ke depan masyarakat semakin sadar akan keberadaan penyu dan dapat melestarikannya sehingga anak cucu kita dimasa depan akan terus melihat penyu.






BAB III. PENUTUP

3.1  Kesimpulan.
Penyu merupakan binatang purbakala yang masih hidup sampai sekarang, terdapat bermacam – macam jenis berdasarkan bentuk fisiknya, berkembangbiak dengan cara bertelur dan melepaskan telurnya didalam pasir, konservasi penyu bertujuan untuk melindungi jenis penyu dari kepunahan agar penyu selalu hidup dan menjadi lebih banyak.penyu hidup diair laut akan tetapi bernafas dengan paru – paru. selain itu juga dilakkukan penangakaran penyu agar penyu – penyu dapat lestari. makanan penyu adalah alga yang ada dilaut, penyu memiliki manfaat yaitu dapat dijadikan objek penelitian, penarik wisatawan, penjaga keseimbangan ekosistem.
Selama ini WWF-Indonesia Program Aceh telah melakukan kegiatan konservasi penyu di panga dengan mendorong pembuatan qanun adat tentang penyu di panga dan telah memasuki tahap akhir yaitu penandatanganan qanun adat tentang penyu di Mukim Panga, Kabupaten Aceh Jaya. Sedangkan di aceh besar telah di lakukan konservasi penyu oleh jaringan kuala dengan cara membagi hasil tangkapan telur penyu oleh pemburu, membli telur dari pemburu dan juga dilakukanya pelatihan dan sosialisasi yang di harapkan dapat menumbuhkan pengetahuan dan keinginan masyarakat untuk konservasi penyu sehingga penyu dapat lestari.
                                
3.2  Saran.
Dalam perlindungan penyu, perlu kerja keras semua pihak, bukan hanya dari pemerintah dan LSM pengiat lingkungan yang giat dalam penyelamatan penyu dan habitatnya, tapi peran serta masyarakat sangat penting dalam penyelamatan penyu agar terus lestari.






DAFTAR PUSTAKA





Ismu, Sutanto Suwelo, dkk. 1992. Penyu sisik di indonesia. Oseana, volume xvii, nomor 3 : 97-109.

Ka, U.W.H.T. 2000. mengenal penyu . Terjemahan akil yusuf, yayasan alam lestari, Jakarta.

Nuitja, I. N. S. 1997.Konservasi dan pengembangan penyu di indonesia.prosiding workshop penelitian dan pengelolaan penyu di indonesia. Wetlands international, Bogor. Pp. 29 – 40

Nuitja, I.N.S. Dan I. Uchida. 1983. Studied in the sea turtle ii (the nesting site characteristics of hawksbill and green turtle). A journal of museum zoologicium Bogor, Bogor.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut. Gramedia pustakautama. Jakarta.

Suwelo, I.S., 1988. Hawksbill turtle protection and utilization. turtle workshop. Himeji, 2 - 3 august. 6 pp.

Suwelo, I.S., 1990. Hawksbill turtle in Indonesia.symposium on the resource management of the hawksbill turtle.nagasaki 19-22 november.

Yusuf, a. 2000. mengenal penyu. Yayasan alam lestari. Jakarta