burung twitter

berjalan

SEGALA YANG HIDUP DIPERAIRAN ADALAH MILIK PERIKANAN

Tuesday 23 August 2016

PAPER KONSERVASI HUTAN MANGROVE

PAPER KONSERVASI HUTAN MANGROVE


BAB I. LATAR BELAKANG


Hutan Mangrove atau disebut juga hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah, salinitas tanahnya yang tinggi, serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
Keberadaan mangrove di lautan Indonesia hingga saat ini masih belum terdata dengan baik. Kehadirannya, bagi sejumlah masyarakat tertentu masih dianggap sebagai penghias perairan di laut saja. Padahal, mangrove berfungsi penting secara ekologis dan bagi bumi, seperti membantu menunda perubahan iklim sebagai penyerap dan penjaga karbondioksida bagian dari Gas Rumah Kaca (GRK). Lebih dari pada itu, ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung perikanan sebagai sumber mata pencaharian penting bagi sejumlah masyarakat di Indonesia, utamanya sebagai pendukung sumber daya perikanan yang ada dalam kawasan mangrove (seperti kepiting bakau).
Aceh sebagai daerah yang mempunyai pantai dengan garis pantai yang panjangnya kurang lebih 2.666 Km di kelilingi oleh samudra hindia di sebelah selatan dan barat aceh serta selat malaka dan perairan Andaman  di sebelah timur dan utara aceh, sedangkan luas perairan mencapai 295.370 Km persegi, yang terdiri dari perairan territorial dan kepulauan 56.563 Km persegi. Berdasarkan inventarisasi Departemen Kehutanan, hingga tahun 2000,  hutan mangrove  yang kondisinya baik hanya seluas 30 ribu hektar, jumlah tersebut termasuk mangrove yang terdapat di pesisir Pulau Simeuleu.  Hutan mangrove yang rusak mencapai 25 ribu hektar dan hutan mangrove yang kondisinya sedang seluas 286 ribu hektar. Hingga saat ini tidak terdapat informasi kuantitatif pasti mengenai tingkat kerusakan ekosistem mangrove akibat tsunami.  Informasi hanya dapat diperoleh dari laporan penduduk dan relawan kemanusiaan yang sempat melihat kondisi lapangan serta interpretasi terhadap foto-foto pesisir yang sempat terekam oleh para relawan.





BAB II. PEMBAHASAN KONSERVASI MANGROVE DI ACEH


2.1  Gambaran Umum Tentang Mangrove
Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan bakau. Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai tipe ekosistem hutan yang tumbuh di daerah batas pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara sungai. Tumbuhan tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat kondisi air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas pesisir pantai di daerah tropis & sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan mangrove pada daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut dan tergolong dalam ekosistem peralihan atau dengan kata lain berada di tempat perpaduan antara habitat pantai dan habitat darat yang keduanya bersatu di tumbuhan tersebut. Hutan mangrove juga berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar (Syaiful, 2008).
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Indriyanto, 2006).
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia.  Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut.  Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.  Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae.  Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura (Syaiful, 2008).

1.      Ciri-Ciri Hutan Mangrove.
Ada beberapa ciri-ciri spesifik yang bisa dijumpai di hutan mangrove, antara lain:
1.  Jenis pepohonan yang related terbatas.
2.  Akar pepohonan terbilang unik sebab berbentuk layaknya jangkar dengan melengkung juga menjulang di bakau atau Rhizphora Spp.
3.  Terdapat beberapa pohon yang akarnya mencuat secara vertical layaknya pensil di pidada atau Sonneratia dan juga api-api atau Avicennia Spp.
4.  Terdapat biji atau propagul dengan sifat vivipar atau mampu melakukan proses perkecambahan pada kulit pohon.
5.  Sementara itu, ciri-ciri khusus dari habitat hutan mangrove antara lain:
6.  Wilayah tanah yang tergenang secara periodic atau berkala.
7.  Tempat tersebut juga mendapat aliran air tawar yang cukup dari daratan.
8.  Wilayah tersebut terlindung dari gelombang besar juga arus pasang surut laut yang kuat.
9.  Air di wilayah tersebut memiliki kadar garam payau.

2.      Fungsi Hutan Mangrove
Keberadaan ekosistem mangrove ini sangat penting sebab ia memiliki beberapa fungsi yang nyata terhadap organisme lainnya.
a.       Fungsi Fisik Hutan Mangrove
Ø  Sebagai penjaga garis pantai juga tebing sungai agar terhindar dari erosi atau abrasi.
Ø  Memacu percepatan perluasan lahan.
Ø  Mengendalikan intrusi dari air laut.
Ø  Berperan sebagai pelindung daerah belakang hutan mangrove dari pengaruh buruk hempasan gelombang juga angin yang kencang.
Ø  Sebagai kawasan penyangga dari rembesan air lautan.
Ø  Sebagai pusat pengolahan limbah organik.

3.      Fungsi Ekonomis Hutan Mangrove.
Ø  Sebagai sumber kayu untuk bahan bakar juga bahan bangunan bagi manusia.
Ø  Sebagai penghasil beberapa unsur penting seperti obat-obatan, minuman, makanan, tannin juga madu.
Ø  Sebagai lahan untuk produksi pangan.
Ø  Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
Ø  Penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
Ø  Pariwisata, penelitian, dan pendidikan.

4.      Fungsi Biologis Hutan Mangrove
Ø  Sebagai tempat untuk mencari makanan, tempat memijah, tempat untuk berkembang-biak berbagai organisme seperti ikan, udang dan lain-lain.
Ø  Sebagai salah satu sumber plasma nutfah

5.      Flora Pada Ekosistem Mangrove
Berbicara mengenai flora atau tumbuhan yang ada di ekosistem hutan mangrove antara lain liana, alga, bakteri juga fungi. Beberapa ahli menemukan terdapat kurang lebih 89 spesies . Flora tersebut kemudian dibagi ke dalam 3 kelompok, antara lain:
a.       Flora hutan mangrove mayor atau tanaman mangrove sesungguhnya, adalah tanaman yang memperlihatkan kesetiaan pada habitas ekosistem mangrove. Ia memiliki kemampuan untuk membentuk tegakan yang murni serta secara dominan mencirikan susunan komunitas. Dari segi morfologis, ia mempunyai bentuk yang adaptif akan lingkungan hutan mangrove dan mampu mengontrol kadar garam. Contoh flora yang masuk ke kelompok ini adalah adalah Kandelia, Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera, Laguncularia, Sonneratia dan Nypa.
b.      Flora mangrove minor, adalah tanaman mangrove yang tidak memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah tegakan yang murni, dengan demikian secara morfologis tanaman ini tidak memiliki peranan yang dominan dalam komunitas mangrove. Contoh tanaman ini antara lain Excoecaria, , Aegiceras. Aegialitis, Xylocarpus, Camptostemon, Heritiera, Pemphis, Scyphiphora, Osbornia, Acrostichum dan juga Pelliciera.
c.       Asosiasi hutan Mangrove, contoh tanaman yang satu ini adalah Calamus, Hibiscus, Cerbera dan masih banyak lagi lainnya.

2.2  Luas Hutan Mangrove di Indonesia
Indonesia itu negara yang kaya, kita harus bangga terhadap negara kita ini. kita mempunyai hutan mangrove yang terluas didunia, sebaran terumbu karang yang eksotik, rumput laut yang terhampar dihampir sepanjang pantai, sumber perikanan yang tidak ternilai banyaknya. menurut Rusila Noor, dkk. (1999) Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas hutan mangrove terluas didunia dengan keragaman hayati terbesar didunia dan struktur paling bervariasi didunia. Hutan mangrove atau yang biasa disebut hutan bakau, walaupun penyebutan hutan bakau itu tidak pas sebenarnya karena bakau hanya merupakan salah satu dari jenis mangrove itu sendiri yaitu jenis Rhizopora spp. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah tropis dan sub tropis (Indriyanto, 2006)
Menurut Nasution (2010) mangrove tumbuh subur di daerah muara sungai atau estuari yang merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibar adanya erosi. Kesuburan daerah ini juga ditentukan oleh adanya pasang surut yang mentransportasi nutrient.
Berdasarkan data Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial (2001) dalam Gunarto (2004) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar akan tetapi sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data FAO (2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%) (Rusila Noor, dkk. 1999)
Di Asia sendiri luasan hutan mangrove indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total hutan mangrove di Asia yang dikuti oleh Malaysia (10% ) dan Mnyanmar (9%). Akan tetapi diperkirakan luas hutan manrove diindonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (Nasution, 2010).
Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) berdasarkan Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9.204.840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi rusak sedang 4.510.456,61 ha dan kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Berdasarkan data tahun 2006 pada 15 provinsi yang bersumber dari BPDAS, Ditjen RLPS, Dephut luas hutan mangrove mencapai 4.390.756,46 ha.
Data hasil pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal dengan menganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190 scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha (Syaiful., 2008). Kementerian kehutanan tahun 2007  juga mengeluarkan data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesia  berdasarkan kementerian kehutanan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini et al., 2010), tetapi hampir 70%nya rusak (belum tau kategori rusaknya seperti apa). kedua instansi tersebut juga mengeluarkan data luas Mangrove per propinsi di 33 Provinsi di Indonesia.
NASA (2010) juga mengeluarkan informasi tentang luas mangrove dan sebarannya. menurutnya luas mangrove di indoensia telah berkurang 35% antara tahun 1980-2000 dimana luas mangrove pada tahun 1980 itu mencapai 4,2 juta ha dan pada tahun 2000 berkurang menjadi 2 juta ha. Mereka juga (NASA) mengupload beberapa foto konversi lahan dari hutan mangrove manjadi sawah (Syaiful., 2008).
Apapun bentuk datanya, yang jelas hutan mangrove kita telah banyak yang berkurang. Konversi lahan yang dilakukan oleh manusia terhadap areal hutan mangrove sebagai tambak, areal pertanian dan pemukiman menyebabkan luas lahan hutan mangrove terus berkurang. Selain itu pemanfaatan hutan mangrove yang tidak bertanggung jawab sebagai bahan bangunan, kayu bakar dan juga arang memberi kontribusi yang tidak sedikit terhadap kerusakan hutan mangrove. Seperti pada gambar di bawah terlihat perubahan penggunaan lahan hutan mangrove menjadi tambak dari tahun  1992 sampai 1998 didaerah delta mahakam. Menurut Rusila Noor, dkk. (1999) kematian mangrove secara alami tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hilangnya areal mangrove di Indonesia.
2.3  Kondisi Hutan Mangrove Di Aceh Sebelum Dan Setelah Tsunami Aceh 2004.
Tsunami 2004 telah mengakibatkan perubahan bentang alam yang cukup serius, seperti hilangnya daratan dan terbentuknya rawa-rawa pesisir. Selain memakan korban jiwa, juga telah menghancurkan vegetasi mangrove yang ada di pesisir timur dan barat provinsi Aceh. Menurut Rusila Noor, dkk (1999), Sebelum tsunami menerjang aceh, kondisi hutan bakau di aceh telah sedikit terjadi pergeseran fungsi, ada satu dan dua tempat yang di alih fungsikan untuk pembangunan seperti perumahan dan tujuan pembangunan lainnya Pada lokasi tertentu alih fungsinya bahkan telah berlangsung lebih awal. Seperti di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar, alih fungsi tersebut telah berlangsung sejak tahun 1960-an. Kondisi demikian, telah menyebabkan lanskep kawasan pesisir menjadi rentan terhadap bencana. Hal ini diperlihatkan saat terjadi tsunami pada bulan Desember 2004, yaitu banyak tanggul pematang tambak rusak/hancur dan tambak terisi endapan lumpur. Seandainya keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir masih memadai, diduga hantaman gelombang tsunami tidak menimbulkan kerusakan separah tersebut
Berdasarkan hasil penelitian Syaiful (2008) diketahui bahwa tumbuhan mangrove yang tumbuh di pantai Banda Aceh dan Aceh Besar  sebelum tsunami adalah: Avicienna marina, A. officinalis, A. alba, A. lannata, Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, Ceriop tangal, C. decandra, Lumnitzera littorea, L. racemosa, Schyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba, S. caseolaris, Excoecaria agallocha, Aediceras cornoculatum, Xylocarpus rumphii, dan X. granatum. Pada tahun 2000, menurut pemerintah aceh (2007)  hutan mangrove di provinsi Aceh  yang kondisinya baik hanya seluas 30.000 ha; 286.000  ha kondisinya moderate, dan 25.000 ha dalam kondisinya rusak. Pada tahun 2004, Departemen Kehutanan melaporkan luas hutan mangrove di Aceh, yaitu  296.078 ha berada di pantai timur; 49.760 ha di pantai barat, dan 1000 ha di kabupaten Simeuleu.

2.4  Konservasi Hutan Mangrove Di Aceh.
Dengan hancurnya hutan bakau di aceh, sangat perlu di giatkan penanaman kembali, agar mangrove dapat tumbuh dan berkembang dan membentuk ekosistem kembali. Salah satu upaya dari seribu upaya yang di lakukan pengiat lingkungan dalam menanam kembali mangrove di aceh adalah perjuangan Azhar Idris atau Pak Azhar, beliau telah melakukan penanaman mangrove jauh sebelum bencana Tsunami menghantam aceh tepatnya sejak beliau berusia 15 tahun, beliau berpendapat dengan menanam bakau dapat menahan abrasi pantai yang menghantam tambaknya dan daun-daun tanaman bakau yang berguguran dapat menjadi pupuk alami dan meningkatkan unsur hara di tambak, kebiasaan itu lah yang membawa beliau menanam mangrove hingga dewasa.
Setelah bencana Tsunami 2004 melanda, beliau dengan sedikit tenaganya mengumpulkan sedikit demi sedikit buah-buah bakau hingga mencapai puluhan ribu buah untuk di bibitkan kembali dan beliau belum mengetahui untuk apa ribuan bibit itu, yang ada dalam fikirannya hanya mengumpulkannya saja sembari menunggu bantuan dari pemerintah. Kemudian pada tahun 2005 Wetlands, NGO yang khusus bergerak di bidang pelestarian lingkungan melihat begitu banyak bibit bakau di depan rumah Pak Azhar, pihak dari Wetlands sempat bertanya untuk diapakan bibit bakau itu kepada pak azhar, beliau menjawab mau di tanam di tambak beliau. Akhirnya dari pihak Wetlands sendiri membeli bakau tersebut dan meminta pak azhar untuk menanamnya, kemudian pak azhar meminta dan mengajak 8 orang rekanya untuk membantunya menanam mangrove tersebut. Bibit dari pak azhar tidak hanya di tanam di areal tambak dan wilayah kabupaten aceh besar saja, tetapi juga ke Kabupaten Aceh Jaya, Pidie Jaya hingga Bireuen. Ada beberapa jenis bakau, namun yang ditanam Pak Azhar hanya empat jenis: rhizopora, api-api (avicennia), pedada (sonneratia) dan tanjang (bruguiera). Ini dipilih karena menurutnya keempat jenis inilah yang paling cocok di tambaknya. 
Kurang lebih tiga tahun Wetlands bekerja sama dengan pak azhar dan menanam lebih dari 250.000 bibit bakau di areal tambak dan muara-muara sungai di Desa Lam Ujong. Salah satu LSM yang telah bermitra dengan Pak Azhar adalah WWF Indonesia untuk rehabilitasi pesisir Aceh paska tsunami Sejak 2013 untuk program New Baby Mangrove. WWF-Indonesia dengan didukung oleh Tuppareware dan BCA telah menanam 40 ribu bibit mangrove di pesisir Aceh Besar, jika di total sampai hari ini di tahun 2016 WWF-Indonesia bersama pak azhar telah menanam total 300.000 lebih bibit tanaman bakau dari jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa dalam program New Baby Mangrove.
Karena kepeduliannya itu pula, WWF Indonesia merekomendasikan Azhar sebagai pelari yang ikut membawa obor Olimpiade Beijing tahun 2007 bersama tokoh dan artis Indonesia di Jakarta. Setelah bertahun-tahun menanan mangrove, kini sudah mulai menampakan hasilnya dan tumbuh besar berkat kegigihan, ketekunan dan kesabaran pak azhar, tambak dan lingkungan hutan bakau kembali hidup berkat usahanya.





BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan
Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan bakau. Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Pak azhar merupakan pelopor penanaman mangrove di aceh dan sangat sadar akan fungsi mangrove. Pak azhar beserta NGO Wetlands Indonesia dan WWF-Indonesia berkolaborasi menanam kembali hutan bakau di aceh hingga hari ini telah di tanam lebih dari 500.000 lebih bibit bakau di wilayah Kabupaten Aceh Besar, Bireun, Aceh Jaya dan Pidie Jaya. Dan terus menananm hingga saat ini untuk ekosistem mangrove yang terus terpelihara dan bermanfaat untuk banyak orang.   

3.2 Saran.
Untuk menciptakan ekosistem pantai yang baik dan tetap terjaga, bukan saja kerja keras satu atau dua orng pihak saja yang berpartisitipasi, tapi perlu kerja keras semua pihak terutama masyarakat pesisir dan masyarakat yang mengantungkan hidupnya pada tanaman dan ekosistem pantai, semoga kedepanya masyarakat di berikan edukasi yang masif agar hutan mangrove tetap terjaga.






DAFTAR PUSTAKA

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta
Eddy, Syaiful. 2008. Pengelolaan Potensi Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan. Palembang. Jurusan Biologi FMIPA Universitas PGRI Palembang.
Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Suryadiputra, I.N.N. (editor) 2006. Kajian Kondisi Lingkungan Pasca Tsunami di Beberapa Lokasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Wetlands International Indonesia Programme /CPSG. Universitas Syiah Kula, Banda Aceh.

Pemerintah Aceh. 2007. Dokumen Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Oxfam, Banda Aceh.

Nasution. M.A.  2010. Kerusakan Mangrove Aceh Terus Berlanjut: Potret Moratorium Logging yang Banci dan Kebijakan “Aceh Green” yang Tidak Membumi. Koalisi Advokasi untuk Laut Aceh (KuALA).   www.kuala.or.id. Diakses 22 September 2010.

BRR NAD-Nias. 2005. Rencana Induk Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. BRR Satker Pesisir, Banda Aceh.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.  PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

No comments:

Post a Comment