PAPER KONSERVASI
HUTAN MANGROVE
BAB I. LATAR
BELAKANG
Hutan
Mangrove atau disebut juga hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di atas
rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh
pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan
bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya
aerasi tanah, salinitas tanahnya yang tinggi, serta mengalami daur penggenangan
oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di
tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau
karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Wilayah pantai dan pesisir
memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan
(interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang
unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan
lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya
tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk
meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang
besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan,
industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem
transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem,
salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
Keberadaan mangrove di lautan Indonesia hingga saat ini masih
belum terdata dengan baik. Kehadirannya, bagi sejumlah masyarakat tertentu
masih dianggap sebagai penghias perairan di laut saja. Padahal, mangrove
berfungsi penting secara ekologis dan bagi bumi, seperti membantu menunda
perubahan iklim sebagai penyerap dan penjaga karbondioksida bagian dari Gas
Rumah Kaca (GRK). Lebih dari pada itu, ekosistem mangrove berperan penting
dalam mendukung perikanan sebagai sumber mata pencaharian penting bagi sejumlah
masyarakat di Indonesia, utamanya sebagai pendukung sumber daya perikanan yang
ada dalam kawasan mangrove (seperti kepiting bakau).
Aceh sebagai daerah yang
mempunyai pantai dengan garis pantai yang panjangnya kurang lebih 2.666 Km di
kelilingi oleh samudra hindia di sebelah selatan dan barat aceh serta selat
malaka dan perairan Andaman di sebelah
timur dan utara aceh, sedangkan luas perairan mencapai 295.370 Km persegi, yang
terdiri dari perairan territorial dan kepulauan 56.563 Km persegi. Berdasarkan inventarisasi Departemen Kehutanan, hingga tahun
2000, hutan mangrove yang kondisinya baik
hanya seluas 30 ribu hektar, jumlah tersebut termasuk mangrove yang terdapat di
pesisir Pulau Simeuleu. Hutan mangrove
yang rusak mencapai 25 ribu hektar dan hutan mangrove yang kondisinya sedang
seluas 286 ribu hektar. Hingga saat ini tidak terdapat informasi kuantitatif pasti
mengenai tingkat kerusakan ekosistem mangrove akibat tsunami. Informasi hanya dapat diperoleh dari laporan
penduduk dan relawan kemanusiaan yang sempat melihat kondisi lapangan serta
interpretasi terhadap foto-foto pesisir yang sempat terekam oleh para relawan.
BAB
II. PEMBAHASAN KONSERVASI MANGROVE DI ACEH
2.1 Gambaran
Umum Tentang Mangrove
Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish)
dan grove (English). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest,
coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan bakau. Hutan mangrove dapat
didefinisikan sebagai tipe ekosistem hutan yang tumbuh di daerah batas
pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara sungai. Tumbuhan
tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat
kondisi air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas
pesisir pantai di daerah tropis & sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan
mangrove pada daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-tempat
di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Tumbuhan mangrove
bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di
darat dan di laut dan tergolong dalam ekosistem peralihan atau dengan kata lain
berada di tempat perpaduan antara habitat pantai dan habitat darat yang
keduanya bersatu di tumbuhan tersebut. Hutan mangrove juga berperan dalam
menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar (Syaiful, 2008).
Hutan
mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang
selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai
faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang
air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram
(halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat
obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Flora mangrove terdiri
atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Jenis-jenis tumbuhan yang
ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri
atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis
epifit dan 2 jenis parasit (Indriyanto, 2006).
Dari
sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan
antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang
(Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan
mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah
kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah
habitatnya. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa
sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia. Secara garis besar fauna
mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan
fauna laut. Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak
(Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna
laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya
didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh
Bracyura (Syaiful, 2008).
1.
Ciri-Ciri Hutan Mangrove.
Ada beberapa ciri-ciri
spesifik yang bisa dijumpai di hutan mangrove, antara lain:
1. Jenis
pepohonan yang related terbatas.
2. Akar
pepohonan terbilang unik sebab berbentuk layaknya jangkar dengan melengkung
juga menjulang di bakau atau Rhizphora Spp.
3. Terdapat
beberapa pohon yang akarnya mencuat secara vertical layaknya pensil di pidada
atau Sonneratia dan juga api-api atau Avicennia Spp.
4. Terdapat biji
atau propagul dengan sifat vivipar atau mampu melakukan proses perkecambahan
pada kulit pohon.
5. Sementara
itu, ciri-ciri khusus dari habitat hutan mangrove antara lain:
6. Wilayah tanah
yang tergenang secara periodic atau berkala.
7. Tempat
tersebut juga mendapat aliran air tawar yang cukup dari daratan.
8. Wilayah
tersebut terlindung dari gelombang besar juga arus pasang surut laut yang kuat.
9. Air di
wilayah tersebut memiliki kadar garam payau.
2.
Fungsi Hutan Mangrove
Keberadaan ekosistem
mangrove ini sangat penting sebab ia memiliki beberapa fungsi yang nyata
terhadap organisme lainnya.
a. Fungsi
Fisik Hutan Mangrove
Ø
Sebagai penjaga garis
pantai juga tebing sungai agar terhindar dari erosi atau abrasi.
Ø
Memacu percepatan perluasan
lahan.
Ø
Mengendalikan intrusi dari
air laut.
Ø
Berperan sebagai pelindung
daerah belakang hutan mangrove dari pengaruh buruk hempasan gelombang juga
angin yang kencang.
Ø
Sebagai kawasan penyangga
dari rembesan air lautan.
Ø
Sebagai pusat pengolahan
limbah organik.
3. Fungsi
Ekonomis Hutan Mangrove.
Ø
Sebagai sumber kayu untuk
bahan bakar juga bahan bangunan bagi manusia.
Ø
Sebagai penghasil beberapa
unsur penting seperti obat-obatan, minuman, makanan, tannin juga madu.
Ø
Sebagai lahan untuk
produksi pangan.
Ø
Penghasil keperluan
industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
Ø
Penghasil bibit ikan, nener
udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
Ø
Pariwisata, penelitian, dan
pendidikan.
4. Fungsi
Biologis Hutan Mangrove
Ø
Sebagai tempat untuk
mencari makanan, tempat memijah, tempat untuk berkembang-biak berbagai
organisme seperti ikan, udang dan lain-lain.
Ø
Sebagai salah satu sumber
plasma nutfah
5.
Flora Pada Ekosistem
Mangrove
Berbicara
mengenai flora atau tumbuhan yang ada di ekosistem hutan mangrove antara lain
liana, alga, bakteri juga fungi. Beberapa ahli menemukan terdapat kurang lebih
89 spesies . Flora tersebut kemudian dibagi ke dalam 3 kelompok, antara lain:
a. Flora
hutan mangrove mayor atau tanaman mangrove sesungguhnya, adalah tanaman yang
memperlihatkan kesetiaan pada habitas ekosistem mangrove. Ia memiliki kemampuan
untuk membentuk tegakan yang murni serta secara dominan mencirikan susunan
komunitas. Dari segi morfologis, ia mempunyai bentuk yang adaptif akan
lingkungan hutan mangrove dan mampu mengontrol kadar garam. Contoh flora yang
masuk ke kelompok ini adalah adalah Kandelia, Rhizophora, Bruguiera, Avicennia,
Ceriops, Lumnitzera, Laguncularia, Sonneratia dan Nypa.
b. Flora
mangrove minor, adalah tanaman mangrove yang tidak memiliki kemampuan untuk
membentuk sebuah tegakan yang murni, dengan demikian secara morfologis tanaman
ini tidak memiliki peranan yang dominan dalam komunitas mangrove. Contoh
tanaman ini antara lain Excoecaria, , Aegiceras. Aegialitis, Xylocarpus,
Camptostemon, Heritiera, Pemphis, Scyphiphora, Osbornia, Acrostichum dan juga
Pelliciera.
c. Asosiasi
hutan Mangrove, contoh tanaman yang satu ini adalah Calamus, Hibiscus, Cerbera
dan masih banyak lagi lainnya.
2.2
Luas Hutan Mangrove di Indonesia
Indonesia itu negara yang kaya, kita
harus bangga terhadap negara kita ini. kita mempunyai hutan mangrove yang
terluas didunia, sebaran terumbu karang yang eksotik, rumput laut yang
terhampar dihampir sepanjang pantai, sumber perikanan yang tidak ternilai banyaknya.
menurut Rusila Noor, dkk. (1999) Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas
hutan mangrove terluas didunia dengan keragaman hayati terbesar didunia dan
struktur paling bervariasi didunia. Hutan mangrove atau yang biasa disebut
hutan bakau, walaupun penyebutan hutan bakau itu tidak pas sebenarnya karena
bakau hanya merupakan salah satu dari jenis mangrove itu sendiri yaitu jenis
Rhizopora spp. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh
disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran
ombak dan daerah yang landai di daerah tropis dan sub tropis (Indriyanto,
2006)
Menurut Nasution (2010) mangrove tumbuh subur di daerah
muara sungai atau estuari yang merupakan daerah tujuan akhir dari
partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu
akibar adanya erosi. Kesuburan daerah ini juga ditentukan oleh adanya pasang
surut yang mentransportasi nutrient.
Berdasarkan data Direktorat Jendral
Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial (2001) dalam Gunarto (2004) luas hutan
Mangrove di Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar
akan tetapi sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data FAO
(2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai
3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di
dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%) (Rusila Noor, dkk. 1999)
Di Asia sendiri luasan hutan mangrove
indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total hutan mangrove di Asia yang
dikuti oleh Malaysia (10% ) dan Mnyanmar (9%). Akan tetapi diperkirakan luas
hutan manrove diindonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980
sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (Nasution,
2010).
Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) berdasarkan
Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS),
Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9.204.840.32 ha
dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi rusak sedang
4.510.456,61 ha dan kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Berdasarkan data tahun 2006
pada 15 provinsi yang bersumber dari BPDAS, Ditjen RLPS, Dephut luas hutan
mangrove mencapai 4.390.756,46 ha.
Data hasil pemetaan Pusat Survey
Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal dengan menganalisis data citra
Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190 scenes), mengestimasi
luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha (Syaiful., 2008). Kementerian kehutanan tahun
2007 juga mengeluarkan data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas
hutan mangrove Indonesia berdasarkan kementerian kehutanan adalah
7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian
Kehutanan, 2009 dalam Hartini et al., 2010), tetapi hampir 70%nya rusak (belum
tau kategori rusaknya seperti apa). kedua instansi tersebut juga mengeluarkan
data luas Mangrove per propinsi di 33 Provinsi di Indonesia.
NASA (2010) juga mengeluarkan
informasi tentang luas mangrove dan sebarannya. menurutnya luas mangrove di
indoensia telah berkurang 35% antara tahun 1980-2000 dimana luas mangrove pada
tahun 1980 itu mencapai 4,2 juta ha dan pada tahun 2000 berkurang menjadi 2
juta ha. Mereka juga (NASA) mengupload beberapa foto konversi lahan dari hutan
mangrove manjadi sawah (Syaiful., 2008).
Apapun bentuk datanya, yang jelas
hutan mangrove kita telah banyak yang berkurang. Konversi lahan yang dilakukan
oleh manusia terhadap areal hutan mangrove sebagai tambak, areal pertanian dan
pemukiman menyebabkan luas lahan hutan mangrove terus berkurang. Selain itu
pemanfaatan hutan mangrove yang tidak bertanggung jawab sebagai bahan bangunan,
kayu bakar dan juga arang memberi kontribusi yang tidak sedikit terhadap
kerusakan hutan mangrove. Seperti pada gambar di bawah terlihat perubahan
penggunaan lahan hutan mangrove menjadi tambak dari tahun 1992 sampai
1998 didaerah delta mahakam. Menurut Rusila Noor, dkk. (1999) kematian mangrove
secara alami tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hilangnya
areal mangrove di Indonesia.
2.3
Kondisi Hutan Mangrove Di Aceh Sebelum
Dan Setelah Tsunami Aceh 2004.
Tsunami 2004 telah
mengakibatkan perubahan bentang alam yang cukup serius, seperti hilangnya
daratan dan terbentuknya rawa-rawa pesisir. Selain memakan korban jiwa, juga
telah menghancurkan vegetasi mangrove yang ada di pesisir timur dan barat
provinsi Aceh. Menurut Rusila Noor, dkk (1999), Sebelum tsunami
menerjang aceh, kondisi hutan bakau di aceh telah sedikit terjadi pergeseran
fungsi, ada satu dan dua tempat yang di alih fungsikan untuk pembangunan
seperti perumahan dan tujuan pembangunan lainnya Pada lokasi tertentu alih
fungsinya bahkan telah berlangsung lebih awal. Seperti di kawasan Banda Aceh
dan Aceh Besar, alih fungsi tersebut telah berlangsung sejak tahun 1960-an.
Kondisi demikian, telah menyebabkan lanskep kawasan pesisir menjadi rentan
terhadap bencana. Hal ini diperlihatkan saat terjadi tsunami pada bulan
Desember 2004, yaitu banyak tanggul pematang tambak rusak/hancur dan tambak
terisi endapan lumpur. Seandainya keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir
masih memadai, diduga hantaman gelombang tsunami tidak menimbulkan kerusakan
separah tersebut
Berdasarkan hasil
penelitian Syaiful (2008) diketahui bahwa tumbuhan mangrove yang tumbuh di
pantai Banda Aceh dan Aceh Besar sebelum tsunami adalah: Avicienna marina, A. officinalis, A. alba,
A. lannata, Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa, Bruguiera
gymnorrhiza, B. parviflora, Ceriop tangal, C. decandra, Lumnitzera littorea, L.
racemosa, Schyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba, S. caseolaris,
Excoecaria agallocha, Aediceras cornoculatum, Xylocarpus rumphii, dan X. granatum. Pada tahun 2000, menurut
pemerintah aceh (2007) hutan mangrove di
provinsi Aceh yang kondisinya baik hanya seluas 30.000 ha; 286.000
ha kondisinya moderate, dan 25.000 ha dalam kondisinya rusak. Pada tahun
2004, Departemen Kehutanan melaporkan luas hutan mangrove di Aceh, yaitu
296.078 ha berada di pantai timur; 49.760 ha di pantai barat, dan 1000 ha
di kabupaten Simeuleu.
2.4
Konservasi Hutan
Mangrove Di Aceh.
Dengan hancurnya
hutan bakau di aceh, sangat perlu di giatkan penanaman kembali, agar mangrove
dapat tumbuh dan berkembang dan membentuk ekosistem kembali. Salah satu upaya
dari seribu upaya yang di lakukan pengiat lingkungan dalam menanam kembali
mangrove di aceh adalah perjuangan Azhar Idris atau Pak Azhar, beliau telah
melakukan penanaman mangrove jauh sebelum bencana Tsunami menghantam aceh
tepatnya sejak beliau berusia 15 tahun, beliau berpendapat dengan menanam bakau
dapat menahan abrasi pantai yang menghantam tambaknya dan daun-daun tanaman
bakau yang berguguran dapat menjadi pupuk alami dan meningkatkan unsur hara di
tambak, kebiasaan itu lah yang membawa beliau menanam mangrove hingga dewasa.
Setelah bencana
Tsunami 2004 melanda, beliau dengan sedikit tenaganya mengumpulkan sedikit demi
sedikit buah-buah bakau hingga mencapai puluhan ribu buah untuk di bibitkan
kembali dan beliau belum mengetahui untuk apa ribuan bibit itu, yang ada dalam
fikirannya hanya mengumpulkannya saja sembari menunggu bantuan dari pemerintah.
Kemudian pada tahun 2005 Wetlands, NGO yang khusus bergerak di bidang
pelestarian lingkungan melihat begitu banyak bibit bakau di depan rumah Pak
Azhar, pihak dari Wetlands sempat bertanya untuk diapakan bibit bakau itu
kepada pak azhar, beliau menjawab mau di tanam di tambak beliau. Akhirnya dari
pihak Wetlands sendiri membeli bakau tersebut dan meminta pak azhar untuk
menanamnya, kemudian pak azhar meminta dan mengajak 8 orang rekanya untuk
membantunya menanam mangrove tersebut. Bibit dari pak azhar tidak hanya di
tanam di areal tambak dan wilayah kabupaten aceh besar saja, tetapi juga ke Kabupaten Aceh Jaya,
Pidie Jaya hingga Bireuen. Ada beberapa
jenis bakau, namun yang ditanam Pak Azhar hanya empat jenis: rhizopora, api-api (avicennia),
pedada (sonneratia) dan tanjang (bruguiera). Ini dipilih karena
menurutnya keempat jenis inilah yang paling cocok di tambaknya.
Kurang lebih tiga
tahun Wetlands bekerja sama dengan pak azhar dan menanam lebih dari 250.000
bibit bakau di areal tambak dan muara-muara sungai di Desa Lam Ujong. Salah satu LSM yang telah bermitra dengan Pak Azhar
adalah WWF Indonesia untuk rehabilitasi pesisir Aceh paska tsunami Sejak 2013 untuk program New Baby Mangrove. WWF-Indonesia
dengan didukung oleh Tuppareware dan BCA telah menanam 40 ribu bibit mangrove
di pesisir Aceh Besar, jika di total sampai hari ini di tahun 2016 WWF-Indonesia
bersama pak azhar telah menanam total 300.000 lebih bibit tanaman bakau dari
jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa dalam program New
Baby Mangrove.
Karena kepeduliannya itu pula, WWF Indonesia
merekomendasikan Azhar sebagai pelari yang ikut membawa obor Olimpiade Beijing
tahun 2007 bersama tokoh dan artis Indonesia di Jakarta. Setelah bertahun-tahun
menanan mangrove, kini sudah mulai menampakan hasilnya dan tumbuh besar berkat
kegigihan, ketekunan dan kesabaran pak azhar, tambak dan lingkungan hutan bakau
kembali hidup berkat usahanya.
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Hutan Mangrove
berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English). Hutan mangrove
dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau
juga hutan bakau. Dari
sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan
antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang
(Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan
mangrove utama yang banyak dijumpai. Pak azhar merupakan pelopor penanaman
mangrove di aceh dan sangat sadar akan fungsi mangrove. Pak azhar beserta NGO Wetlands Indonesia dan WWF-Indonesia berkolaborasi
menanam kembali hutan bakau di aceh hingga hari ini telah di tanam lebih dari
500.000 lebih bibit bakau di wilayah Kabupaten Aceh Besar, Bireun, Aceh Jaya
dan Pidie Jaya. Dan terus menananm hingga saat ini untuk ekosistem mangrove
yang terus terpelihara dan bermanfaat untuk banyak orang.
3.2 Saran.
Untuk menciptakan ekosistem pantai yang baik dan tetap
terjaga, bukan saja kerja keras satu atau dua orng pihak saja yang
berpartisitipasi, tapi perlu kerja keras semua pihak terutama masyarakat
pesisir dan masyarakat yang mengantungkan hidupnya pada tanaman dan ekosistem
pantai, semoga kedepanya masyarakat di berikan edukasi yang masif agar hutan
mangrove tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara.
Jakarta
Eddy,
Syaiful. 2008. Pengelolaan Potensi Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan. Palembang. Jurusan
Biologi FMIPA Universitas PGRI Palembang.
Rusila
Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Suryadiputra,
I.N.N. (editor) 2006. Kajian Kondisi Lingkungan Pasca Tsunami di Beberapa
Lokasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Wetlands International Indonesia
Programme /CPSG. Universitas Syiah Kula, Banda Aceh.
Pemerintah
Aceh. 2007. Dokumen Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Oxfam, Banda Aceh.
Nasution.
M.A. 2010. Kerusakan Mangrove Aceh Terus Berlanjut: Potret Moratorium
Logging yang Banci dan Kebijakan “Aceh Green” yang Tidak Membumi. Koalisi
Advokasi untuk Laut Aceh (KuALA). www.kuala.or.id. Diakses 22 September
2010.
BRR
NAD-Nias. 2005. Rencana Induk Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. BRR Satker Pesisir,
Banda Aceh.
Supriharyono.
2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
No comments:
Post a Comment